Ukiran
Cerita di Daratan Tertinggi Jawa Tengah
Lebih
Dekat Dengan Langit, Kaki Tetap Memijak Bumi
Mungkin tidak terdengar asing pepatah yang sering
diucapkan guru-guru kita sejak masa SD dulu yang mengatakan “Gantungkan
cita-citamu setinggi langit”. Kali ini, aku akan bercerita mengenai perjalanan
mengejar mimpi dan cita untuk mencapai puncak tertinggi di Jawa Tengah. Mencoba
lebih dekat dengan hamparan langit, namun kaki tetap berpijak pada hamparan
daratan. Seolah menggantung cita dan impian itu, kawan...
Senin, 21
Januari 2013
Yellow Corner, tempat para penantang impian, pemijak
bumi nan tinggi menunggu datangnya satu orang anggota lagi, yaitu aku. Aku
datang paling telat dalam kelompok ini. Kawan-kawan yang sungguh setia menunggu
kedatanganku. Aku mempersiapkan segala kebutuhan mulai dari malam harinya.
Mulai dari perbekalan logistik sampai dengan alat-alat yang perlu dibawa dalam
pendakian. Termasuk juga berdoa sebelum berangkat yang membuatku agak telat
hadir di tempat yang telah disepakati. Sebelum berangkat, aku mendirikan shalat
ashar terlebih dahulu, teriring doa kepada Allah Swt. Agar perjalanan kami
semua berjalan lancar.
Yellow Corner, menjadi titik awal cerita ini. Kami
sempat bertemu salah seorang dosen dari departemen kami dan dapat berfoto juga
dengan beliau sebelum berangkat menuju Jawa Tengah. Tiba juga saatnya, angkot
pun tiba untuk kami bertolah dari Bogor. Saat akan memasukkan carrier dengan
seluruh perkakas di dalamnya ke dalam angkot, tali carrier yang yang aku bawa
putus karena terinjak oleh sepatuku. Carrier yang aku bawa adalah carrier
pinjeman dari salah seorang temanku yang juga ikut mendaki saat itu. Carrier
yang sudah lapuk dimakan waktu karena telah menemani temanku ini selama kurang
lebih 5 tahun sejak ia masih berada di bangku SMP. Aku tidak tahu harus
bagaimana mengatasi masalah ini, di awal perjalanan sudah disambut dengan
kejadian seperti ini. Tak tahu harus mencari alat jahit dimana. Beberapa teman
menyarankan untuk mencari pinjaman carrier saat telah tiba di base camp nanti,
namun sang pemilik tas mencoba mencari alternatif yang lebih murah, yaitu
menemukan alat jahit atau apapun yang bisa menyambungkan tali tas itu lagi.
Kami pun tiba di terminal bus Baranang Siang, kami langsung mencari informasi keberangkatan
bus. Sedangkan aku dan Je mencari alat yang bisa menyatukan tali tas itu, bila
perlu langsung dengan tukang jahitnya jika ada. Huuuhhh, ternyata tak ada sama
sekali. Akhirnya, toko perkakas yang ada di Botani Square menjadi pilihan
akhir. Kami menemukan tali-talian yang biasa digunakan untuk mengikat kabel.
Mau gak mau, ya udah lah, yang penting bisa diikat kembali carrier itu.
Berselang beberapa saat, tibalah waktu keberangkatan
bus kami. Kami bergegas mengambil carrier kami masing-masing dan langsung
menaiki bus. Kami pun bertolak dari Bogor menuju Purwokerto.
Selasa, 22
Januari 2013
Setelah melewati perjalanan pada malam harinya,
tibalah kami di terminal bus Purwokerto. Tak terasa kaki ini telah berpijak di
tanah Jawa Tengah. Waktu shubuh kami tiba di tempat ini. Kami bergegas
mengambil air wudlu untuk menunaikan shalat shubuh. Kemudian kami beristirahat
sejenak menunggu penjemputan dari base camp pendakian. Kami bertemu beberapa
warga yang juga beristirahat sejenak sebelum melanjutkan perjalanan mereka.
Jemputan datang, dengan mobil pick up hitam kami
akan mengawali petualangan di daratan Jawa Tengah ini. Carrier kami naikkan ke
mobil dan ternyata cukup menghabiskan banyak tempat. Berjejal deh jadinya...
Capcus menuju base camp, perjalanan menghabiskan
waktu sekitar 2 jam dari terminal Purwokerto. Cukup membuat pantat panas dan
pegel...
Dalam perjalanan, kami disuguhkan pemandangan yang
cukup indah. Kebun sayur masyarakat yang menghijau, hutan pinus, rumah warga
dengan gerbang menarik dari bilah bambu berbentuk setengah lingkaran, serta tak
ketingalan Gunung Slamet yang terpampang di depan mata ini.
Kami pun tiba di base camp, beberapa kelompok pendaki
yang baru saja turun menyambut hangat kedatangan kami. Sementara melepas lelah,
kami berbincang sejenak dengan para pendaki tersebut, tak ketinggalan juga
perbincangan kami dengan tim sars yang bertugas disana. Setelah itu, kami
segera bersiap-siap mulai dari packing ulang barang hingga isi ulang tenaga
dengan menyantap makanan yang disiapkan oleh pihak base camp (tentunya gak
gratis brow...).
Sekitar pukul 11.00 siang itu, kami melangkahkan
kaki, bergerak menyusuri jalan setapak track pendakian Gunung Slamet. Kami
disambut oleh sebuah gerbang bertuliskan “Gerbang Pendakian Gunung Slamet Pos
Bambangan Kabupaten Purbalingga” karena memang jalur pendakian ini yang kami
pilih untuk mencapai puncak tertinggi di Jateng. Perjalanan awal kami disuguhi
dengan ladang perkebunan sayuran masyarakat desa yang ditanami kol, wortel, dan
beberapa jenis sayur lainnya. Tak lama berselang, kami telah ada di penghujung
ladang tersebut, kami disambut dengan kabut yang mulai menutupi pandangan.
Rintik hujan pun datang di sela-sela kabut yang cukup tebal. Kami mulai
menyiapkan rain coat, baju hujan dan ponco. Kami lanjutkan perjalanan dengan
kondisi hujan dan kabut. Sesekali kami selingi perjalanan dengan canda dan
gurauan beberapa orang untuk memecah kesunyian. Deraian hujan tak berlangsung
lama, kami anggap hanya sambutan baik bagi kami dari Gunung Slamet. Langkah
demi langkah kami lalui, sesekali kami beristirahat sambil mengambil napas
panjang menghirup sejuknya hawa pegunungan. Pos pertama tak kunjung tiba, kami
merasa telah menempuh perjalanan yang cukup lama.
Kaki terasa pegal untuk menapak lebih jauh lagi.
Finally, sekitar pukul 13.20, kami sampai pos I (Pondok Gembirung) setelah
harapan dan penantian selama perjalanan. Kami masuk dan beristirahat sambil
menyantap makanan ringan yang kami bawa di gubuk beratap dan berdinding seng
ini. Kurang lebih 20 menit beristirahat di tempat ini cukup memberi kami tenaga
untuk melanjutkan perjalanan. Perjalanan kami lanjutkan dengan menyusuri hutan,
melawan dinginnya hawa khas pegunungan, menikmati deraian rintik hujan yang
airnya sedikit demi sedikit mulai merembes di sela-sela jaket kami. Kami tiba
di pos II (Pondok Walang), beristirahat sejenak lalu menyiapkan diri untuk
melaksanakan shalat dzuhur dan ashar yang kami jamak. Hujan tak kunjung
berhenti, langit nan mendung rupanya cukup mendukung selalu hadirnya tetesan
air dari langit. Setelah shalat kami melanjutkan perjalanan menuju pos
selanjutnya, berharap menemukan pos III sebelum hari mulai gelap. Namun
ternyata hari yang mulai gelap memaksa kami untuk break di antara pos II dan
III. Kami tak sanggup melanjutkan perjalanan dengan kondisi lingkungan seperti
itu, hujan yang kian deras membuat track menjadi licin ditambah kondisi kami
yang sudah sangat lelah. Kami terhenti di tengah-tengah sehingga kami coba
mencari tempat yang agak datar untuk beristirahat dan cocok untuk mendirikan
tenda. Kelompok pertama dari kami berdiam di suatu tempat yang lumayan datar
dibandingkan daratan yang telah dan akan kami lalui. Hanya menggunakan ponco
membuat atap sederhana pelindung dari hujan, kami berteduh di bawahnya.
Sebagian besar dari kami menggigil kedinginan. Coba mencari tempat yang lebih
lapang lagi, Bang Riki (kakak tingkatku, anak kelahiran Papua, terkuat dalam
kelompok kami) berlari ke atas dan menemukan satu tempat yang lumayan datar,
kami terpisah menjadi dua. Kami yang ada di bawah mencari kehangatan dengan
menggosok-gosokkan tangan dan berdiri berdekatan. Salah seorang teman yang
bernama Muti kelihatannya masuk angin dan tak tahan terhadap hawa dingin yang
terus menusuk badan, dia muntah-muntah sambil menggigil kedinginan. Begitupun
anggota kelompok yang lain, semakin lama semakin tak bisa bertahan. Sebenarnya
begitu beresiko perjalanan kami, tetap jalan dengan medan terjal licin
berlumpur pada kondisi lemah dan lapar atau diam mendirikan tenda menghadapi
dinginnya pegunungan ditambah deraian hujan yang tak kunjung henti, hipothermia
pasti menghampiri. Memang pilihan yang membuat dilema. Dan pilihan kedua inilah
yang kami hadapi. Berhadapan dengan resiko hipothermia, kami coba mendirikan
tenda. Namun, kelihatannya tenda tak cukup berkompromi dengan kondisi kami.
Rangkanya tak bisa berdiri tegak membuat tenda itu terlihat bak tenda tertiup
angin besar. Ya sudah, seadanya aja yang penting bisa digunakan untuk berteduh.
Di dalam tenda tersebut, kami coba menyalakan parafin yang sudah basah dan
untungnya saja bisa menyala. Parafin yang jumlahnya terbatas tak ingin kami
sia-siakan hanya untuk menghangatkan badan. Dua atau tiga batang parafin
terbakar sudah cukup membuat hangat badan kami. Satu tenda telah berdiri walau
dengan kondisi yang tak diharapkan di saat-saat seperti itu. Keadaan kami tak memungkinkan
untuk mendirikan tenda lagi, tubuh yang mulai menggigil serta tangan yang mulai
tak berasa seolah melarang kami. Akhirnya dengan penutup tenda seadanya tanpa
rangka, kami memutuskan untuk tidur di dalamnya dengan matras dan sleeping bag.
Hanya empat orang saja yang mampu ditampung oleh tenda ini, aku dan tiga orang
lainnya. Lima orang lainnya mencoba membangun tenda yang tak jauh posisinya
dengan tenda cewek. Dengan posisi tidur yang berdesak-desakan di tanah sedikit
landai tapi lebih mirip saluran air membuatku khawatir ada batu yang
menggelinding atau hewan yang lewat lalu menginjak kami yang sedang tidur. Tapi
aku tak peduli karena yang aku pikirkan hanyalah mempertahankan suhu tubuh agar
tetap hangat.
Rabu, 23
Januari 2013
Sekitar pukul 5 pagi itu, kami terbangun. Aku
dibangunkan dengan suara celotehan jari Kak Rici (ketua baru BEM FEMA, juga
Asprak Matkul Komkel ku) di atas keypad hand phonenya. Ternyata dia menemukan
sinyal di dalam selubung kepompong itu...
Aku keluar tenda dan ku temukan beberapa teman yang
telah bangun duluan. Kami bersiap-siap melanjutkan perjalanan kembali. Tenda
dan barang-barang yang kami sempat lemparkan malam itu kami rapikan seraya
mempersiapkan sarapan. Beberapa bungkus mie instan, kopi, dan roti kami
keluarkan dari carrier anggota yang membawa bahan makanan. Cahaya kuning
mentari pagi itu cukup menyumbangkan kehangatan bagi tubuh kami yang didera
kedinginan sejak malamnya.
Beberapa saat kemudian, kaki kami mulai menapak
kembali melintasi medan terjal dan sempit menuju pos selanjutnya. Uluran
tanganku tak pernah henti kepada Kak Dina (kakak kelas angkatan 47, pertama
kali naik gunung, teman sekelas Matkul Antropologi Sosial) yang selalu
membutuhkan bantuan dan tak bisa ditinggal. Setiap beberapa menit perjalanan,
kami break sejenak untuk meneguk air minum dan mengatur pernapasan. Beberapa
medan yang sangat curam kami hadapi sehingga membutuhkan tali sebagai pegangan.
Tibalah kami di pos III (Pondok Cemara) sekitar pukul 09.20. Kami beristirahat
sejenak, aku ambil sepotong roti yang ditawarkan salah seorang teman sebagai
penawar rasa lapar. Perjalanan kami lanjutkan kembali melewati medan yang
sedikit datar ditutupi semak yang cukup lebat, selanjutnya kembali kami lewati
track menanjak seperti biasanya. Sampailah kami di pos IV (Pondok Samarantu)
pada pukul 10.45. Konon katanya, pondok ini berasal dari kata samar-samar hantu
karena di tempat ini masih kental bau mistis. Di pos ini kami menemukan
sisa-sisa pohon yang terbakar dengan area yang cukup luas. Menurut penuturan,
telah terjadi kebakaran besar pada akhir tahun 2012 lalu yang disebabkan bara
api pendaki sebelumnya yang tertiup angin sehingga melahap hutan sekitarnya.
Kami pun tak berlama-lama di pos ini, kami juga dilarang untuk mendirikan tenda
jika seandainya kemalaman di sekitar pos ini. Perjalanan kami lanjutkan,
sepanjang perjalanan kami disuguhkan pemandangan pohon-pohon sisa kebakaran
yang cukup banyak membuktikan area kebakaran yang cukup luas. Tak terasa kami
telah sampai di pos V (Pondok Mata Air) pada pukul 11.30. Kami beristirahat
sejenak di tempat ini. Kami temukan beberapa orang pendaki yang berdiam disana,
selanjutnya barang-barang kami masukkan ke dalam pondok. Pondok Mata Air ini
persis sama dengan pondok I, namun di dalamnya dilengkapi dengan sejenis
panggung dari papan. Kami memutuskan untuk beristirahat disini hingga malam
tiba. Cuaca yang terus hujan tak memungkinkan kami melanjutkan perjalanan ke
pos berikutnya. Sesuai dengan namanya, di pos ini kita akan menjumpai mata air
yang mengalir, berjarak sekitar 100 meter dari pos. Kami mengambil persediaan
air, kemudian memasak dan mempersiapkan segala sesuatunya untuk mencapai pos
berikutnya. Kami coba membuat api unggun untuk menghangatkan badan. Hingga
malampun tiba, hujan tak kunjung reda, kemudian kami mengatur posisi tidur
sedemikian rupa untuk menghalau hawa dingin yang semakin menusuk. Lumayanlah,
kami dapat istirahat cukup pulas sebelum melanjutkan perjalanan.
Kamis, 24
Januari 2013
Sekitar pukul 12 malam itu, kami lanjutkan
perjalanan menuju pos berikutnya. Barang-barang kami tinggalkan di pos V dan
membawa barang secukupnya. Sesuai rencana kami akan langsung mengeksekusi
summit attack dari sini. Dalam gelapnya malam kami berjalan menyusuri jalan
setapak yang vegetasi tumbuhan sudah mulai jarang. Jalan yang dilalui seperti
parit-parit kecil aliran air yang mengalir. Perjalanan diselingi istirahat
pendek, selanjutnya berjalan lagi dan lagi. Sampailah kami di pos VI (Pondok Syamyang
Jampang) dan tak perlu berlama-lama, kami lanjutkan menuju pos VII. Perjalanan menuju pos VII, kami
melalui jalan yang kemiringannya cukup menantang adrenalin. Sesekali dalam
perjalanan kami menjumpai pohon edelweis yang tumbuh di sisi jalan, namun tak
berbunga. Edelweis yang kami jumpai tak cukup banyak, hanya berkisar beberapa
pohon saja. Sekitar pukul 01.15, kami tiba di pos VII (Pondok Syamyang Kendit).
Terdapat bangunan pos seperti yang kami temui di pos V, namun sedikit bolong
pada dinding sengnya. Di pos ini, kami beristirahat cukup lama sambil memutar
beberapa musik galau. Dari pos ini juga kita dapat menikmati pemandangan
lampu-lampu daratan kota dan daerah lainnya. Tak ketinggalan pemandangan
awan-awan yang sudah mulai berada di bawah kami. Inilah samudera di atas awan
itu, kawan...
Perjalanan kami lanjutkan, perjalanan yang
membutuhkan ketegaran, kesabaran, dan keteguhan hati yang sesungguhnya, summit
attack. Jalan yang dilalui kami temukan mulai berbatu nan tajam, terkadang kaki
merosot jika pijakan tidak tepat. Kami sempat mendirikan tenda untuk
beristirahat karena rintik hujan yang mulai menemani ke puncak tertinggi. Tenda
kami dirikan di daerah yang sedikit datar, namun dekat sekali dengan jurang
yang curam. Puncak sudah di depan mata, begitu semangat rasanya untuk menggapai
puncak tertinggi di Jawa Tengah ini. Setelah hujan mulai reda, kami lanjutkan
pendakian menuju puncak ini. Kami mulai menemukan jalan yang ditutupi batu-batu
kerikil berwarna merah, track ini disebut batu merah. Batu-batu yang cukup
tajam membuat kami harus waspada pada pijakan dan pegangan ketika kami
merangkak. Sekitar pukul 5 pagi itu, kami terus memijakkan kaki pada kerikil
tajam sepanjang track summit attack. Sesekali kami bercanda sambil mengambil
foto-foto dengan pemandangan nan indah. Mentari mulai menampakkan dirinya di
balik awan langit ufuk timur. Cahaya merah jingga menyinari sepanjang track
yang kami lalui memberi semangat untuk mencapai puncak Gunung Slamet. Dari
tempat ini juga, kami dapat menyaksikan empat puncak gunung lainnya yang
menjulang tinggi, Merbabu, Sindoro, Sumbing, dan Merapi. Aku tak kuat lagi
menuntun Kak Dina untuk menuju puncak, aku takut merosot karena track yang
begitu curam. Entah dimana jasad ini akan terlempar jika menggelinding ke
bawah, ngeriii...aku limpahkan tanggung jawab ini kepada Bang Riki yang cukup
kuat membawanya. Inilah puncak dengan segala kemegahan yang disuguhkan, sekitar
pukul 06.20 pagi itu aku menyusul teman-teman yang telah mencapai puncak duluan.
Subhaanallaah...
Betapa indah alam raya ini, ciptaan Sang Maha Agung
dengan kebesaran dan kekuasaan yang tiada tara.
Memang ada tantangan edan, gila, dan konyol diajukan
bagi temen-temen yang sudah berada di puncak. Salah satunya adalah tantangan
buka baju bagi para cowok. Temen-temen yang sudah di puncak duluan telah membuka
baju mereka duluan dan berfoto dengan pose seperti itu. Sayangnya, saat aku
tiba disana, aku membuka baju namun tak lama setelah aku membuka baju kabut
datang dan menutupi luasan tempat kami berdiri. Aku tak dapat berfoto dengan
pemandangan seperti itu setelah merelakan tubuh ini dimakan hawa dingin puncak
Slamet. Beberapa saat kemudian, empat orang paling belakang yang aku tinggalkan
sampai juga di puncak. Aku kira mereka terhenti di tengah pelawangan karena tak
sanggup lagi. Akhirnya kami semua dapat berdiri di puncak tertinggi ini dengan
selamat.
Tak sampai jam 09.00 pagi itu, kami segera turun
karena cuaca yang mulai tak bersahabat. Kabut semakin tebal dan rintik hujan
mulai mengiringi. Kami segera turun menuju tenda yang telah kami buat sebelumnya.
Pelawangan Batu Merah kembali kami lewati dengan kaki yang akan selalu tergerus
kerikil tajam disana. Kali ini aku juga tak sanggup membawa Kak Dina melewati
pelawangan Batu Merah. Aku memutuskan untuk menuntun orang lain yang sekiranya
fisiknya juga mampu menopangku ketika aku salah pijakan. Kak Lidia (Mahasiswi
Departemen Biokimia 46) adalah orang yang aku bawa turun menyusuri pelawangan.
Empat orang dari kami sampai duluan di tenda. Kami berunding sebentar untuk
memutuskan lanjut atau tidak. Fisik kami yang mulai lapar dan lemas serta baju
yang telah basah karena rintik hujan memaksa kami untuk turun duluan. Jika
menunggu lebih lama di tenda yang juga basah saat itu, kami tak mungkin mampu
bertahan lama. Kami turun duluan dengan rencana menyiapkan makanan dan minuman
setelah sampai di pos V. Dua jam lamanya, cukup cepat dalam hitungan kami,
tibalah di pos V. Kami tak menemukan apapun untuk dimasak, korek apipun tak
ada. Rencana kami tak berjalan lancar...
Satu-satunya yang bisa kami lakukan hanya mengisi
botol-botol kosong sebagai cadangan air minum temen-temen kami. Selanjutnya aku
mengganti pakaian basah dengan sisa terakhir dari bajuku yang tidak tersentuh
air, cuma agak lembab aja. Terlalu dingin jika ku biarkan tubuh ini dibaluti
baju basah itu terlalu lama. Selang beberapa saat, tibalah temen-temen lainnya
dengan kondisi yang tak kalah basahnya denganku. Kami beristirahat, makan, dan
bersih-bersih secukupnya menjelang perjalanan turun. Kami terus berjalan turun
dari pos V hingga sore kami tak kunjung datang di pos I. Padahal tujuan utama
kami maksimal di pos I sebelum malam tiba. Kami kemalaman dan beberapa orang
terlihat sudah mulai kehabisan energi, diantaranya ada juga yang mengalami
keseleo dan lecet pada kakinya. Kondisi semakin parah menjelang pos I,
sekelompok pendaki lain salah seorang anggotanya kesurupan, hypothermia, atau
apalah aku tak tahu ditambah dengan Awa’ yang penyakitnya kambuh menjelang pos
I ini. Berasa tulang punggungnya terangkat ke atas. Aku berusaha mengobatinya
dengan olesan minyak fresh care yang diberikan Kak Lidia. Bang Fatur juga tak
enak badan, Bang Riki, Bang Fuad, dan aku berusaha mengangkat Awa’. Setelah itu,
aku angkat carrier yang dilempar karena tak sanggup dibawa lagi oleh
temen-temen yang tak enak badan. Kami terpaksa menginap di pos I tanpa bekal
yang tersisa selama perjalanan turun. Kami putuskan untuk melanjutkan
perjalanan esok paginya, kami segera mendirikan tenda dan mengais sisa makanan
yang mungkin masih ada. Kami beristirahat malam itu, menunggu tibanya sang surya
esok hari.
Jum'at, 25 Januari 2013
Mentari bersinar begitu cerahnya, kami terbangun
segera menikmati hangatnya cahaya raja siang ini. Kami berkemas merapikan tenda
dan barang-barang yang masih berserakan. Sampah kami kumpulkan dan ada sebagian
kami bawa turun.
Go home, guys...kami begitu menikmati perjalanan
menjelang base camp. Tak sabar rasanya tiba disana untuk menikmati makanan
seperti yang pertama kali kami makan disana. Perut sudah keroncongan dan badan
sudah lemas. Air untuk melumasi tenggorokan tak ada yang tersisa. Namun,
menjelang lahan perkebunan masyarakat suara riak air menggoda perjalanan kami. Beberapa
dari kami mengambil air dari sungai sementara yang lainnya istirahat. Akhirnya tibalah
kami di Base Camp pendakian. Senang rasanya telah berada disini lagi dengan
selamat.
Terima kasih atas segala kisah ini ya Allah, kami
tiba kembali dalam keadaan selamat setelah mendaki Slamet ini...
Beberapa dokumentasi selama perjalanan menuju puncak tertinggi Jawa Tengah