Minggu, 17 Maret 2013

I wanna out of this zone, help me!

Out of this box...

Rasanya begitu penat dengan semua aktivitas yang selalu sama setiap minggunya. Rasanya ingin keluar dari zona ini dan merasakan hal yang berbeda. Setiap minggunya tak lekang dari kuliah, laporan, rapat, dan kumpul-kumpul formal lainnya. huuuhhh, bosan rasanya hidup ini dengan menjalani rutinitas sama.
Life is never flat, guys...
Acara Gebyar Prestasi Santri se-Jawa Bali 2013 baru saja usai. Tanpa bisa menikmati weekend minggu ini, tapi tetap ku nikmati apa adanya aja.
Setelah sebulan lebih pendakian Gunung Slamet berlalu, rasa rindu akan puncak gunung terasa menyayat lubuk hati ini. Pikiran ini selalu terbayang dengan pengalaman pendakian kala itu. Rasa rindu dari hari ke hari semakin menjadi-jadi, tak tertahankan sehingga ku lampiaskan dengan melihat cerita pendakian orang lain yang ku temui di dunia maya. Tak luput sesekali ku simpan foto-foto gunung yang ingin ku daki.
Salah satunya, Gunung Semeru yang ku idam-idamkan.
Aku tak tahu wabah gunung telah mencemari otak ini dan menyisakan kerinduan yang teramat dalam.


Wanna go there...

Rabu, 13 Februari 2013


Perjalanan Hidup Terune[1] Lombok Untukmu Pondok


Tidak seorang pun mengetahui apa yang akan terjadi hari esok pada hidupnya. Selasa, 7 Juli 1992, tepat pada hari ini seorang hamba yang penuh dengan kelemahan dilahirkan, aku.
Aku dilahirkan di sebuah desa yang  terletak di Kecamatan Sikur, Kabupaten Lombok Timur, Lombok, Nusa Tenggara Barat. Tepatnya desa itu bernama Tetebatu. Sebuah desa yang menjadi salah satu destinasi wisata di bagian timur pulau Lombok. Desaku menyuguhkan beberapa tempat wisata karena letaknya yang begitu dekat dengan Gunung Rinjani seperti air terjun dan kolam pemandian yang airnya langsung berasal dari pegunungan. Ya sudahlah kawan, sebenarnya bukan hal itu yang ingin aku ulas dalam tulisan ini.
Setamat Sekolah Dasar aku melanjutkan sekolah ke pondok pesantren yang terletak sekitar 20 kilometer dari desaku. Sebenarnya bukan aku yang memilih untuk melanjutkan pendidikan di tempat ini. Kakakku, dialah yang menjerumuskanku. Kakak tertua yang ada dalam keluarga. Pada awalnya, aku berencana tuk melanjutkan di sekolah yang terletak tak begitu jauh dari rumahku, SMP 3 Sikur. Sekolah yang menjadi idaman setiap lulusan SD di desa itu. Sepulang dari sekolah setelah pengambilan ijazah menjadi awal keberangkatanku ke Kota Santri (sebutan akrab pondok pesantren karena letaknya yang dekat dengan ibu kota kabupaten Lombok Timur). Memang tak ada yang menandingi rasa nyaman ketika di rumah. Di tempat baru ini terasa begitu asing, tak bersahabat, gelisah, galau dan cemas. Aku memang sudah beberapa kali menginjakkan kaki disini, sekedar bermain dan mengunjungi kakak-kakakku yang juga melanjutkan sekolahnya. Tapi tetap saja kawan, aku tak mudah menerima ini semua.
Selama menjalani masa-masa ta’lim, aku tinggal di sebuah gubuk kecil berdinding anyaman bambu dengan atap yang selalu bocor ketika musim hujan tiba. Rumah yang letaknya di madrasah khusus wanita ini tak seharusnya diperuntukkan bagi santri laki-laki. Eits, dalam artian tak tinggal bersama dengan santri putri, santri putri tinggal di tempat yang berbeda. Namun mau bagaimana lagi, keterbatasan biaya membuat kakakku memutuskan untuk menjebloskanku di tempat ini dengan adik iparnya yang lebih dulu menempatinya. Mengapa aku sampai tinggal di madrasah yang isinya khusus wanita ini kawan, memang tak ada tempat lain?. Madrasah khusus wanita ini bernama Madrasah Tsanawiyah Mu’allimat. Kakakku lama mengabdi di tempat ini sebagai seorang ustadz, sehingga dia diberikan izin oleh pengurus pondok untuk menggunakan rumah yang sebenarnya untuk penjaga madrasah ini dijadikan tempat tinggal untukku. Whatever kawan, yang penting ada tempat tinggal selama masa pembelajaran.
Tholabul ‘ilmi fariidlatun ‘alaa kulli muslimin wa muslimatin, sebuah hadits yang paling awal ku pelajari pada pelajaran mahfudzoth di madrasah tercinta. Sepertinya aku mulai menyukai dan mencintai madrasah ini kawan. Aku kira hadits ini cukup menggambarkan bagaimana tuntutan kepada seorang muslim untuk terus menuntut ilmu. Alhamdulillah, aku dapat menikmati pendidikan kembali kawan.
O ya kawan, aku hampir lupa memberitahukan apa nama madrasahku. Namanya Madrasah Tsanawiyah Mu’allimin yaitu madrasah tertua yang didirikan di pondok pesantren ini sekitar tahun 1937. Madrasah ini menjadi awal pergerakan para santri tidak hanya berjuang melawan kebodohan tetapi ikut berjuang melawan kekejaman para penjajah Belanda saat masih menduduki Pulau Lombok. Pondok pesantrenku bernama Yayasan Pondok Pesantren Darunnahdlatain Nahdlatul Wathan. Pondok pesantrenku ini tidak hanya bergerak dalam bidang pendidikan, akan tetapi dalam bidang sosial dan dakwah juga. Sehingga Nahdlatul Wathan tidak hanya dikenal sebagai zona pondok pesantren, ia juga dikenal sebagai organisasi masyarakat terbesar di pulau Lombok. Ini salah satu alasan aku mulai menyukai dan mencintai madrasah ini. Penuh cerita dan sejarah perjuangan yang begitu luar biasa. Bahkan setiap ustadz atau ustadzah memasuki ruang kelas, mereka selalu bercerita dengan penuh semangat mengenai perjuangan para santri yang menjadi syuhada’ melawan penjajah tempo dulu. Tidak hanya itu alasan tuk bertahan di madrasah ini kawan. Setelah melakukan registrasi santri baru, keesokan harinya aku harus menjalani tes masuk madrasah. Saat ini adalah awal sosialisasi, ku jumpai seorang teman yang sampai saat ini masih menjadi sahabatku. Dia begitu baik dan ramah, bahkan kalau pergi ke rumahnya aku tidak diizinkan pulang sebelum ada sesuatu yang harus dibawa sebagai oleh-oleh. Orang tua temanku ini adalah seorang petani, mereka tidak hanya menanam padi, sayur-sayuran juga turut turut menjadi permadani hijau di sawah mereka sehingga setiap kembali ke pondok pasti aku membawa sekantong besar sayur mayur. Ini gratis without pay anything.
Di madrasah, aku termasuk orang yang pendiam menurut sebagian teman-temanku. Jarang berbicara kecuali pada saat belajar di kelas menjadi ciri khasku. Sehingga pada beberapa hari ketika aku tak bisa masuk mengikuti pelajaran karena sakit, kelas terasa sunyi dan beberapa orang ustadz/ustadzah mencariku berdasarkan penuturan salah seorang temanku. Tahu tidak kawan, semenjak kelas pertama sampai terakhir madrasah tsanawiyah, aku selalu ditunjuk oleh teman-teman sebagai ketua kelas dan aku tak dapat menghindari hal ini, selalu dan selalu. Proses edukasi terus berjalan dengan segenap aktivitas di  dalamnya. Doa, mukhodoroh[2], dan menyanyikan salah satu lagu perjuangan Nahdlatul Wathan menjadi rutinitas seharian sebelum memasuki ruang kelas.
            Alhamdulillah, pada tahun pertama aku bisa memperoleh juara pertama setiap semesternya serta berhasil pula memperoleh juara umum dua saat itu. Itu merupakan kebanggaan tersendiri bagi seorang perantau sepertiku. Aku tak menyangka dapat menyabet prestasi ini. Tahun pertama pun  berlalu, time to time gone. Masuk di tahun kedua, semester pertama dengan jabatan yang sama, ketua kelas. Dengan jabatan yang selalu seperti ini membuatku selalu menjadi pilihan terakhir saat teman-teman yang memiliki giliran mengisi acara pagi hari untuk memimpin doa, mukhodoroh, dan menyanyikan salah satu lagu perjuangan tidak dapat memenuhi giliran mereka. Ini luar biasa kawan, pengaruhnya masih aku rasakan sampai saat ini yaitu berani tampil di depan umum dalam keadaan tidak siap. Terkadang aku dan semua teman sekelas sesekali mendapat hukuman karena tak ada seorang pun yang mengisi kegiatan rutin ini. Aku juga bukan orang yang selalu memiliki materi yang disampaikan dalam ketidaksiapan. Finally, beberapa goresan merah tergambar dibagian betis kami. Ada yang berbeda dalam peraihan prestasi akademik semester pertama di tahun kedua ini. Aku berada pada peringkat keempat. Tidak selama orang berada di atas kawan. Peringkat pertama diraih oleh anak pengurus pondok, selanjutnya oleh teman lainnya. Memang pada saat kelas pertama aku tak sekelas dengannya. Dan aku yakin, ada pilih kasih yang diberikan padanya karena dia anak seorang pengurus pondok. Saat dia membuat kesalahan pun, ustadz dan ustadzah tak berani bertindak. Semester kedua tiba, peringkat pertama dapat ku raih kembali. Tahun ketiga tiba, akhirnya sudah berada di kelas terakhir jenjang tsanawiyah kawan. Pembelajaran demi pembelajaran terus berjalan hingga akhirnya ujian tiba dan aku lulus dengan nilai yang cukup memuaskan.
The plane can’t turn back, hidup terus bergerak ke depan tanpa bisa kita kembali ke masa sebelumnya. Mari merajut masa depan kawan.
Tepatnya Juli 2008, awal cerita perjuangan edukasi jenjang madrasah aliyah. MA Mu’allimin, nama madrasah yang sama dengan jenjang madrasah tsanawiyah karena memang madrasah ini pada awalnya merupakan satu madrasah yang menyelenggarakan pendidikan selama 6 tahun bagi santrinya. Sebagian besar dari teman-temanku melanjutkan ke madrasah ini. Kami berkumpul kembali dengan alasan yang hampir sama, kebarokahan ilmu yang berkelanjutan di pondok pesantren ini. Sejak awal, kami selalu ditanamkan tiga prinsip dasar kehidupan oleh para ustadz yaitu yakin, ikhlas, dan istiqomah. Dan prinsip ini yang terus dipegang oleh para santri lulusan atau abituren pondok pesantren. Aku yakin prinsip ini juga yang membawa kami menuju madrasah aliyah.
Madrasah aliyah berada sekitar 350 meter dari madrasah tsanawiyah. Madrasah yang luasnya setara dengan lapangan sepak bola. Madrasah yang cukup luas sehingga tak jarang aku menemukan anak-anak yang tinggal di sekitar madrasah bermain bola di lapangan madrasah. Tahun pertama, dengan kelas berada di pojok bangunan madrasah, aktivitas belajar mengajar berlangsung. Kelas yang dianggap sebagai kelas favorit saat itu. Ketua kelas, jabatan yang akrab sekali denganku mendatangi diriku lagi. Namun aku tak pernah menolak untuk menduduki jabatan ini. Jabatan ini yang membuatku lebih akrab mulai dari lingkungan kelas sampai lingkungan kantor para ustadz. Keharusan para ketua kelas mengambil kapur tulis ke kantor membuatku sedikit dikenal oleh para ustadz di madrasah ini dibandingkan teman-teman yang tak menduduki jabatan ini. Kawan, alhamdulillah pada semester pertama di tahun pertama aku bisa menyabet juara pertama di kelas. Ada pengalaman yang paling berkesan di tingkat ini kawan, aku pernah dikirim untuk mengikuti English Debate Contest menanggapi issu lingkungan. Aku dikirim sebagai utusan madrasah bersama dengan 5 orang teman yang merupakan kakak kelasku. Aku bukanlah orang yang terlalu mahir dalam bahasa asing ini kawan, tapi aku tak tahu alasan ustadz bahasa inggris menunjukku untuk lomba ini. Ini pertama dan terakhir kali aku mengikuti lomba debat. Pada saat lomba aku hanya yakin mampu memberikan hal terbaik bagi madrasah walaupun dengan kemampuan seadanya. Walaupun tidak melekat predikat pemenang pada kami saat itu, setidaknya ada pengalaman dan kesempatan yang berharga tergores dalam catatan hidup kami yang mengikuti lomba tersebut. Sebagai obat kekesalan karena tak memenangkan lomba, kami langsung bergegas menuju pantai Senggigi. Salah satu pantai paling tersohor di Lombok yang kerap dikunjungi para wisatawan domestik dan mancanegara. Tentu saja, kami pun tak melewatkan kesempatan berbincang dengan para wisatawan asing di tempat ini sebagai obat kekecewaan. Begitu impresif kawan...
Pada semester berikutnya, peningkatan prestasi yang cukup menakjubkan kawan, syukur yang sebesar-besarnya pada Sang Kholik atas nikmat ini. Akhirnya, aku bisa memegang predikat juara umum pertama di madrasah ini.

Sophomore in this beloved school...
Apa ceritaku di kelas dua ini kawan?. Aku dicalonkan untuk memimpin organisasi intra di madrasah atau yang biasa disebut OSIS. Kali pertama menduduki jabatan setinggi ini menurutku, kawan. Tak sedikitpun terbayang di benakku menduduki jabatan ini, sudah cukup ketua kelas saja yang akrab bagi diri ini pikirku. Hari demi hari ku jalani, berangkat lebih awal dari santri lainnya bahkan harus menjadi santri yang pertama kali menginjakkan kaki di tanah madrasah guna mempersiapkan kegiatan rutin setiap paginya sebelum memasuki ruang kelas. Pada waktu yang bersamaan di tengah-tengah kepengurusan OSIS, aku ditunjuk sebagai wakil dalam forum OSIS se-Lombok Timur (Fosil). Di samping itu, aku dipercayakan juga sebagai sekretaris dalam kepengurusan Pusat Informasi dan Konseling Kesehatan Reproduksi Remaja (PIK-KRR) di ligkungan yayasan. Alhamdulillah, aku mulai menyadari tidak hanya di bangku kelas ilmu dapat ku tuai, namun ilmu yang terkait pengalaman dan soft skill aku peroleh dari perjalanan organisasi. Dalam akademik, step by step wawasan dan pengetahuan ini makin terasah. Aku banyak mengikuti lomba-lomba yang diadakan oleh berbagai instansi pendidikan seperti olimpiade, pidato dan lainnya. Terasa manfaat yang besar ketika mengikuti organisasi dan berbagai lomba. Dalam organisasi aku ditempa untuk berpikir dan berempati terhadap orang lain serta membangun suatu social network antar sesama rekan dalam organisasi tersebut. Dalam setiap perlombaan aku ditempa untuk selalu siap menghadapi ujian, memacu kapabilitas diri dan belajar menerima kekalahan dengan cara yang bijak.
Seperti yang telah aku katakan sebelumnya kawan, hidup tak selalu berada dalam kejayaan akan tetapi kita harus siap menerima kegagalan. Saat kelas dua ini, aku tak lagi memiliki tempat tinggal karena rumah tempat tinggalku selama ini yang berada di madrasah khusus putri tak lagi memberiku ruang. Penjaga madrasah yang baru saja pindah ke tempatku membuat segalanya berubah. Aku harus tinggal di ruang OSIS yang terus memanggang tubuh setiap siang harinya dikarenakan atapnya yang terbuat dari seng, tempat yang begitu bising ketika hujan tiba, dan tempat menyajikan aroma pesing kotoran tikus yang beranak pinak di tempat ini. Aku mulai berpikir lebih bijak pada saat itu, aku bisa hidup dengan keadaan seperti ini. Sometimes, aku mengundang teman-teman OSIS yang lainnya untuk mau menginap di tempat ini. Namun mereka lebih memilih untuk membawaku ke tempat tinggal mereka agar aku menginap disana dengan pertimbangan daripada mendekam di tempat seperti itu. Sesekali juga mereka menyempatkan diri berkumpul bersama di ruang OSIS ini ketika ada acara yang kami laksanakan.
Kepengurusan OSIS periode ini berakhir menjelang kenaikan kelas. Dalam semester ini, juara pertama mampu ku peroleh kembali. Organisasi tak menghalangi segudang prestasi pada diri ini.
Tingkat terakhir pada masa-masa putih abu-abu. At the third grade, tingkat yang mengharuskan setiap santri mulai berpikir akan kemana mereka pergi setelah lulus nanti. Ada beragam pilihan yang mulai muncul, melanjutkan ke perguruan tinggi atau mulai mencari kerja atau merantau ke negeri jiran Malaysia atau bahkan pilihan untuk menikah. Pilihan-pilihan inilah yang mungkin setiap santri miliki di tingkat ini. Di sisi lain, ini merupakan tingkat yang paling mendebarkan, tingkat yang menentukan kami bisa lulus atau tidak dengan menjalani ujian yang hanya berkisar empat hari. Memang saat-saat ini, sebagian besar teman-temanku memutuskan untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi dan tentu ujian tahun ini menjadi pertimbangan besar mereka.
Begitu pula aku kawan, aku ingin sekali melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Pada awalnya aku berpikir untuk tetap mengenyam pendidikan di pondok pesantren. Aku ingin memasuki sekolah tinggi keguruan ilmu pendidikan yang ada di pondok. Namun, ketahuilah kawan bahwa impian terbesarku saat itu adalah aku ingin memperoleh beasiswa di dalam ataupun di luar negeri. Seperti halnya pendahuluku yang saat itu mengenyam pendidikan di Institut Pertanian Bogor. Dia yang selalu memberikanku informasi mengenai beasiswa terutama beasiswa yang selalu menjadi langganan madrasah kami, beasiswa Kementerian Agama RI. Impian besar ini yang memacuku untuk terus belajar, belajar,dan belajar. Mungkin pada masa-masa seperti ini tak lagi terbersit dalam pikiranku  untuk menjadi juara pertama di kelas. Aku lebih memikirkan pada kelulusan dan memperoleh beasiswa sehingga biaya pendidikan tak lagi membebani keluargaku. Hari demi hari, bulan demi bulan terlewati hingga tiba saatnya ketika informasi beasiswa datang dari madrasah. Lima orang santri yang menyandang predikat nilai terbaik di kelas diperintahkan untuk mengisi formulir beasiswa dari Kementerian Agama ini. Dan aku termasuk salah seorang di dalamnya kawan. Alhamdulillah, pada semester-semester sebelumnya aku mampu mempertahankan prestasi dalam peringkat pertama di kelas sehingga aku terpilih untuk mengisi formulir tersebut. Akhirnya tes beasiswa pun tiba dan sekitar 20 orang santri dari pondokku berangkat menuju tempat tes yang berjarak sekitar 50 kilometer. Kedatangan bus kami terlambat. Para santri yang berasal dari pondok lainnya sudah mulai mengisi lembar jawaban tes mereka. Dengan penuh rasa khawatir, cemas dan sedikit tergesa aku mulai mengerjakan soal tes yang disuguhakan pada oleh pengawasa tes hari itu. Beberapa bulan setelah itu, seiring dengan berakhirnya ujian nasional, pengumuman hasil tes beasiswa pun dikeluarkan. Pada awalnya aku sudah hopeless karena informasi sebelumnya mengenai tidak adanya santri yang lulus dari pondok pesantrenku karena keterlambatan pengumuman khusus untuk beberapa universitas, salah satunya IPB. Pada pengisian formulir pendaftaran, aku memilih IPB sebagai pilihan universitas dan dua pilihan jurusan opsional di universitas ini. Walau sedikit terlambat dari universitas lainnya, akhirnya pengumuman untuk IPB keluar juga. Kakak kelasku menelponku saat itu untuk mengabarkan bahwa aku telah lulus di IPB dengan jurusan yang sama dengannya dan merupakan pilihan keduaku. Aku langsung memeriksa situs yang pada awalnya membuatku hopeless tersebut. Ternyata benar saja kawan, aku lulus program beasiswa Kementerian Agama. Dengan nama yang berada pada urutan terakhir di daftar itu, aku begitu bahagia kawan. Seminggu setelahnya, aku harus berangkat ke Bogor sehingga aku harus segera melengkapi berkas-berkas yang dibutuhkan. Hari keberangkatan pun tiba, segalanya telah dipersiapkan dan sepertinya aku sudah siap untuk menginjakkan kaki di IPB.
Tepatnya Juni 2011, akhirnya aku telah berada di kota hujan, Bogor. Hari demi hari berlalu, masa edukasi berjalan dengan berjuta cerita di dalamnya. Mulai dari masa matrikulasi sampai dengan masa kuliah terus mencipta kisah yang begitu mengesankan. Masa perjuangan menimba ilmu yang berharga ini tak kan aku sia-siakan kawan. Aku akan berusaha mengasah dan menuntut ilmu, skill, pengalaman hidup di bangku kuliah ini sehingga pada akhirnya nanti tidak hanya ilmu yang akan terbawa pulang ke pondok pesantren, namun keterampilan, wawasan, nilai-nilai dan apapun yang telah aku peroleh pada masa ini. Bersama keluarga besar CSS MoRA IPB aku menapaki semua pengalaman edukasi yang ada saat ini.
Akan tiba saatnya, aku memberikan sumbangsih pada pondokku tercinta. Aku kerahkan seluruh potensi yang aku miliki. Pengembangan pesantren dalam bidang teknologi dan kewirausahaan menjadi impian besarku. Peningkatan prestasi akademik dalam dirosah diniyah dan ‘ammiyah pondok pesantren menjadi impian besar selanjutnya.

Nantikan kepulanganku, wahai pondokku.
Aku tak kan melupakanmu selama menimba ilmu di negeri rantauan ini.
Aku terus mengharapkan cucuran do’a para ulama dan kiai, sang murabbi dari pondok yang dengan ikhlas mengajarkan ilmunya padaku.
Aku pun terus mendoakanmu, wahai pondokku.
Sampai jumpa pondokku...


[1] Terune; bahasa suku sasak yang artinya anak muda
[2] Mukhodoroh; sejenis kultum yang menjadi rutinitas santri di pondok






Selasa, 12 Februari 2013

Adventure of Mount Slamet (3428 mdpl)


Ukiran Cerita di Daratan Tertinggi Jawa Tengah
Lebih Dekat Dengan Langit, Kaki Tetap Memijak Bumi

Mungkin tidak terdengar asing pepatah yang sering diucapkan guru-guru kita sejak masa SD dulu yang mengatakan “Gantungkan cita-citamu setinggi langit”. Kali ini, aku akan bercerita mengenai perjalanan mengejar mimpi dan cita untuk mencapai puncak tertinggi di Jawa Tengah. Mencoba lebih dekat dengan hamparan langit, namun kaki tetap berpijak pada hamparan daratan. Seolah menggantung cita dan impian itu, kawan...

Senin, 21 Januari 2013
Yellow Corner, tempat para penantang impian, pemijak bumi nan tinggi menunggu datangnya satu orang anggota lagi, yaitu aku. Aku datang paling telat dalam kelompok ini. Kawan-kawan yang sungguh setia menunggu kedatanganku. Aku mempersiapkan segala kebutuhan mulai dari malam harinya. Mulai dari perbekalan logistik sampai dengan alat-alat yang perlu dibawa dalam pendakian. Termasuk juga berdoa sebelum berangkat yang membuatku agak telat hadir di tempat yang telah disepakati. Sebelum berangkat, aku mendirikan shalat ashar terlebih dahulu, teriring doa kepada Allah Swt. Agar perjalanan kami semua berjalan lancar.
Yellow Corner, menjadi titik awal cerita ini. Kami sempat bertemu salah seorang dosen dari departemen kami dan dapat berfoto juga dengan beliau sebelum berangkat menuju Jawa Tengah. Tiba juga saatnya, angkot pun tiba untuk kami bertolah dari Bogor. Saat akan memasukkan carrier dengan seluruh perkakas di dalamnya ke dalam angkot, tali carrier yang yang aku bawa putus karena terinjak oleh sepatuku. Carrier yang aku bawa adalah carrier pinjeman dari salah seorang temanku yang juga ikut mendaki saat itu. Carrier yang sudah lapuk dimakan waktu karena telah menemani temanku ini selama kurang lebih 5 tahun sejak ia masih berada di bangku SMP. Aku tidak tahu harus bagaimana mengatasi masalah ini, di awal perjalanan sudah disambut dengan kejadian seperti ini. Tak tahu harus mencari alat jahit dimana. Beberapa teman menyarankan untuk mencari pinjaman carrier saat telah tiba di base camp nanti, namun sang pemilik tas mencoba mencari alternatif yang lebih murah, yaitu menemukan alat jahit atau apapun yang bisa menyambungkan tali tas itu lagi.
Kami pun tiba di terminal bus Baranang Siang,  kami langsung mencari informasi keberangkatan bus. Sedangkan aku dan Je mencari alat yang bisa menyatukan tali tas itu, bila perlu langsung dengan tukang jahitnya jika ada. Huuuhhh, ternyata tak ada sama sekali. Akhirnya, toko perkakas yang ada di Botani Square menjadi pilihan akhir. Kami menemukan tali-talian yang biasa digunakan untuk mengikat kabel. Mau gak mau, ya udah lah, yang penting bisa diikat kembali carrier itu.
Berselang beberapa saat, tibalah waktu keberangkatan bus kami. Kami bergegas mengambil carrier kami masing-masing dan langsung menaiki bus. Kami pun bertolak dari Bogor menuju Purwokerto.

Selasa, 22 Januari 2013
Setelah melewati perjalanan pada malam harinya, tibalah kami di terminal bus Purwokerto. Tak terasa kaki ini telah berpijak di tanah Jawa Tengah. Waktu shubuh kami tiba di tempat ini. Kami bergegas mengambil air wudlu untuk menunaikan shalat shubuh. Kemudian kami beristirahat sejenak menunggu penjemputan dari base camp pendakian. Kami bertemu beberapa warga yang juga beristirahat sejenak sebelum melanjutkan perjalanan mereka.
Jemputan datang, dengan mobil pick up hitam kami akan mengawali petualangan di daratan Jawa Tengah ini. Carrier kami naikkan ke mobil dan ternyata cukup menghabiskan banyak tempat. Berjejal deh jadinya...
Capcus menuju base camp, perjalanan menghabiskan waktu sekitar 2 jam dari terminal Purwokerto. Cukup membuat pantat panas dan pegel...
Dalam perjalanan, kami disuguhkan pemandangan yang cukup indah. Kebun sayur masyarakat yang menghijau, hutan pinus, rumah warga dengan gerbang menarik dari bilah bambu berbentuk setengah lingkaran, serta tak ketingalan Gunung Slamet yang terpampang di depan mata ini.
Kami pun tiba di base camp, beberapa kelompok pendaki yang baru saja turun menyambut hangat kedatangan kami. Sementara melepas lelah, kami berbincang sejenak dengan para pendaki tersebut, tak ketinggalan juga perbincangan kami dengan tim sars yang bertugas disana. Setelah itu, kami segera bersiap-siap mulai dari packing ulang barang hingga isi ulang tenaga dengan menyantap makanan yang disiapkan oleh pihak base camp (tentunya gak gratis brow...).
Sekitar pukul 11.00 siang itu, kami melangkahkan kaki, bergerak menyusuri jalan setapak track pendakian Gunung Slamet. Kami disambut oleh sebuah gerbang bertuliskan “Gerbang Pendakian Gunung Slamet Pos Bambangan Kabupaten Purbalingga” karena memang jalur pendakian ini yang kami pilih untuk mencapai puncak tertinggi di Jateng. Perjalanan awal kami disuguhi dengan ladang perkebunan sayuran masyarakat desa yang ditanami kol, wortel, dan beberapa jenis sayur lainnya. Tak lama berselang, kami telah ada di penghujung ladang tersebut, kami disambut dengan kabut yang mulai menutupi pandangan. Rintik hujan pun datang di sela-sela kabut yang cukup tebal. Kami mulai menyiapkan rain coat, baju hujan dan ponco. Kami lanjutkan perjalanan dengan kondisi hujan dan kabut. Sesekali kami selingi perjalanan dengan canda dan gurauan beberapa orang untuk memecah kesunyian. Deraian hujan tak berlangsung lama, kami anggap hanya sambutan baik bagi kami dari Gunung Slamet. Langkah demi langkah kami lalui, sesekali kami beristirahat sambil mengambil napas panjang menghirup sejuknya hawa pegunungan. Pos pertama tak kunjung tiba, kami merasa telah menempuh perjalanan yang cukup lama.
Kaki terasa pegal untuk menapak lebih jauh lagi. Finally, sekitar pukul 13.20, kami sampai pos I (Pondok Gembirung) setelah harapan dan penantian selama perjalanan. Kami masuk dan beristirahat sambil menyantap makanan ringan yang kami bawa di gubuk beratap dan berdinding seng ini. Kurang lebih 20 menit beristirahat di tempat ini cukup memberi kami tenaga untuk melanjutkan perjalanan. Perjalanan kami lanjutkan dengan menyusuri hutan, melawan dinginnya hawa khas pegunungan, menikmati deraian rintik hujan yang airnya sedikit demi sedikit mulai merembes di sela-sela jaket kami. Kami tiba di pos II (Pondok Walang), beristirahat sejenak lalu menyiapkan diri untuk melaksanakan shalat dzuhur dan ashar yang kami jamak. Hujan tak kunjung berhenti, langit nan mendung rupanya cukup mendukung selalu hadirnya tetesan air dari langit. Setelah shalat kami melanjutkan perjalanan menuju pos selanjutnya, berharap menemukan pos III sebelum hari mulai gelap. Namun ternyata hari yang mulai gelap memaksa kami untuk break di antara pos II dan III. Kami tak sanggup melanjutkan perjalanan dengan kondisi lingkungan seperti itu, hujan yang kian deras membuat track menjadi licin ditambah kondisi kami yang sudah sangat lelah. Kami terhenti di tengah-tengah sehingga kami coba mencari tempat yang agak datar untuk beristirahat dan cocok untuk mendirikan tenda. Kelompok pertama dari kami berdiam di suatu tempat yang lumayan datar dibandingkan daratan yang telah dan akan kami lalui. Hanya menggunakan ponco membuat atap sederhana pelindung dari hujan, kami berteduh di bawahnya. Sebagian besar dari kami menggigil kedinginan. Coba mencari tempat yang lebih lapang lagi, Bang Riki (kakak tingkatku, anak kelahiran Papua, terkuat dalam kelompok kami) berlari ke atas dan menemukan satu tempat yang lumayan datar, kami terpisah menjadi dua. Kami yang ada di bawah mencari kehangatan dengan menggosok-gosokkan tangan dan berdiri berdekatan. Salah seorang teman yang bernama Muti kelihatannya masuk angin dan tak tahan terhadap hawa dingin yang terus menusuk badan, dia muntah-muntah sambil menggigil kedinginan. Begitupun anggota kelompok yang lain, semakin lama semakin tak bisa bertahan. Sebenarnya begitu beresiko perjalanan kami, tetap jalan dengan medan terjal licin berlumpur pada kondisi lemah dan lapar atau diam mendirikan tenda menghadapi dinginnya pegunungan ditambah deraian hujan yang tak kunjung henti, hipothermia pasti menghampiri. Memang pilihan yang membuat dilema. Dan pilihan kedua inilah yang kami hadapi. Berhadapan dengan resiko hipothermia, kami coba mendirikan tenda. Namun, kelihatannya tenda tak cukup berkompromi dengan kondisi kami. Rangkanya tak bisa berdiri tegak membuat tenda itu terlihat bak tenda tertiup angin besar. Ya sudah, seadanya aja yang penting bisa digunakan untuk berteduh. Di dalam tenda tersebut, kami coba menyalakan parafin yang sudah basah dan untungnya saja bisa menyala. Parafin yang jumlahnya terbatas tak ingin kami sia-siakan hanya untuk menghangatkan badan. Dua atau tiga batang parafin terbakar sudah cukup membuat hangat badan kami. Satu tenda telah berdiri walau dengan kondisi yang tak diharapkan di saat-saat seperti itu. Keadaan kami tak memungkinkan untuk mendirikan tenda lagi, tubuh yang mulai menggigil serta tangan yang mulai tak berasa seolah melarang kami. Akhirnya dengan penutup tenda seadanya tanpa rangka, kami memutuskan untuk tidur di dalamnya dengan matras dan sleeping bag. Hanya empat orang saja yang mampu ditampung oleh tenda ini, aku dan tiga orang lainnya. Lima orang lainnya mencoba membangun tenda yang tak jauh posisinya dengan tenda cewek. Dengan posisi tidur yang berdesak-desakan di tanah sedikit landai tapi lebih mirip saluran air membuatku khawatir ada batu yang menggelinding atau hewan yang lewat lalu menginjak kami yang sedang tidur. Tapi aku tak peduli karena yang aku pikirkan hanyalah mempertahankan suhu tubuh agar tetap hangat.

Rabu, 23 Januari 2013
Sekitar pukul 5 pagi itu, kami terbangun. Aku dibangunkan dengan suara celotehan jari Kak Rici (ketua baru BEM FEMA, juga Asprak Matkul Komkel ku) di atas keypad hand phonenya. Ternyata dia menemukan sinyal di dalam selubung kepompong itu...
Aku keluar tenda dan ku temukan beberapa teman yang telah bangun duluan. Kami bersiap-siap melanjutkan perjalanan kembali. Tenda dan barang-barang yang kami sempat lemparkan malam itu kami rapikan seraya mempersiapkan sarapan. Beberapa bungkus mie instan, kopi, dan roti kami keluarkan dari carrier anggota yang membawa bahan makanan. Cahaya kuning mentari pagi itu cukup menyumbangkan kehangatan bagi tubuh kami yang didera kedinginan sejak malamnya.
Beberapa saat kemudian, kaki kami mulai menapak kembali melintasi medan terjal dan sempit menuju pos selanjutnya. Uluran tanganku tak pernah henti kepada Kak Dina (kakak kelas angkatan 47, pertama kali naik gunung, teman sekelas Matkul Antropologi Sosial) yang selalu membutuhkan bantuan dan tak bisa ditinggal. Setiap beberapa menit perjalanan, kami break sejenak untuk meneguk air minum dan mengatur pernapasan. Beberapa medan yang sangat curam kami hadapi sehingga membutuhkan tali sebagai pegangan. Tibalah kami di pos III (Pondok Cemara) sekitar pukul 09.20. Kami beristirahat sejenak, aku ambil sepotong roti yang ditawarkan salah seorang teman sebagai penawar rasa lapar. Perjalanan kami lanjutkan kembali melewati medan yang sedikit datar ditutupi semak yang cukup lebat, selanjutnya kembali kami lewati track menanjak seperti biasanya. Sampailah kami di pos IV (Pondok Samarantu) pada pukul 10.45. Konon katanya, pondok ini berasal dari kata samar-samar hantu karena di tempat ini masih kental bau mistis. Di pos ini kami menemukan sisa-sisa pohon yang terbakar dengan area yang cukup luas. Menurut penuturan, telah terjadi kebakaran besar pada akhir tahun 2012 lalu yang disebabkan bara api pendaki sebelumnya yang tertiup angin sehingga melahap hutan sekitarnya. Kami pun tak berlama-lama di pos ini, kami juga dilarang untuk mendirikan tenda jika seandainya kemalaman di sekitar pos ini. Perjalanan kami lanjutkan, sepanjang perjalanan kami disuguhkan pemandangan pohon-pohon sisa kebakaran yang cukup banyak membuktikan area kebakaran yang cukup luas. Tak terasa kami telah sampai di pos V (Pondok Mata Air) pada pukul 11.30. Kami beristirahat sejenak di tempat ini. Kami temukan beberapa orang pendaki yang berdiam disana, selanjutnya barang-barang kami masukkan ke dalam pondok. Pondok Mata Air ini persis sama dengan pondok I, namun di dalamnya dilengkapi dengan sejenis panggung dari papan. Kami memutuskan untuk beristirahat disini hingga malam tiba. Cuaca yang terus hujan tak memungkinkan kami melanjutkan perjalanan ke pos berikutnya. Sesuai dengan namanya, di pos ini kita akan menjumpai mata air yang mengalir, berjarak sekitar 100 meter dari pos. Kami mengambil persediaan air, kemudian memasak dan mempersiapkan segala sesuatunya untuk mencapai pos berikutnya. Kami coba membuat api unggun untuk menghangatkan badan. Hingga malampun tiba, hujan tak kunjung reda, kemudian kami mengatur posisi tidur sedemikian rupa untuk menghalau hawa dingin yang semakin menusuk. Lumayanlah, kami dapat istirahat cukup pulas sebelum melanjutkan perjalanan.

Kamis, 24 Januari 2013
Sekitar pukul 12 malam itu, kami lanjutkan perjalanan menuju pos berikutnya. Barang-barang kami tinggalkan di pos V dan membawa barang secukupnya. Sesuai rencana kami akan langsung mengeksekusi summit attack dari sini. Dalam gelapnya malam kami berjalan menyusuri jalan setapak yang vegetasi tumbuhan sudah mulai jarang. Jalan yang dilalui seperti parit-parit kecil aliran air yang mengalir. Perjalanan diselingi istirahat pendek, selanjutnya berjalan lagi dan lagi. Sampailah kami di pos VI (Pondok Syamyang Jampang) dan tak perlu berlama-lama, kami lanjutkan menuju pos VII. Perjalanan menuju pos VII, kami melalui jalan yang kemiringannya cukup menantang adrenalin. Sesekali dalam perjalanan kami menjumpai pohon edelweis yang tumbuh di sisi jalan, namun tak berbunga. Edelweis yang kami jumpai tak cukup banyak, hanya berkisar beberapa pohon saja. Sekitar pukul 01.15, kami tiba di pos VII (Pondok Syamyang Kendit). Terdapat bangunan pos seperti yang kami temui di pos V, namun sedikit bolong pada dinding sengnya. Di pos ini, kami beristirahat cukup lama sambil memutar beberapa musik galau. Dari pos ini juga kita dapat menikmati pemandangan lampu-lampu daratan kota dan daerah lainnya. Tak ketinggalan pemandangan awan-awan yang sudah mulai berada di bawah kami. Inilah samudera di atas awan itu, kawan...
Perjalanan kami lanjutkan, perjalanan yang membutuhkan ketegaran, kesabaran, dan keteguhan hati yang sesungguhnya, summit attack. Jalan yang dilalui kami temukan mulai berbatu nan tajam, terkadang kaki merosot jika pijakan tidak tepat. Kami sempat mendirikan tenda untuk beristirahat karena rintik hujan yang mulai menemani ke puncak tertinggi. Tenda kami dirikan di daerah yang sedikit datar, namun dekat sekali dengan jurang yang curam. Puncak sudah di depan mata, begitu semangat rasanya untuk menggapai puncak tertinggi di Jawa Tengah ini. Setelah hujan mulai reda, kami lanjutkan pendakian menuju puncak ini. Kami mulai menemukan jalan yang ditutupi batu-batu kerikil berwarna merah, track ini disebut batu merah. Batu-batu yang cukup tajam membuat kami harus waspada pada pijakan dan pegangan ketika kami merangkak. Sekitar pukul 5 pagi itu, kami terus memijakkan kaki pada kerikil tajam sepanjang track summit attack. Sesekali kami bercanda sambil mengambil foto-foto dengan pemandangan nan indah. Mentari mulai menampakkan dirinya di balik awan langit ufuk timur. Cahaya merah jingga menyinari sepanjang track yang kami lalui memberi semangat untuk mencapai puncak Gunung Slamet. Dari tempat ini juga, kami dapat menyaksikan empat puncak gunung lainnya yang menjulang tinggi, Merbabu, Sindoro, Sumbing, dan Merapi. Aku tak kuat lagi menuntun Kak Dina untuk menuju puncak, aku takut merosot karena track yang begitu curam. Entah dimana jasad ini akan terlempar jika menggelinding ke bawah, ngeriii...aku limpahkan tanggung jawab ini kepada Bang Riki yang cukup kuat membawanya. Inilah puncak dengan segala kemegahan yang disuguhkan, sekitar pukul 06.20 pagi itu aku menyusul teman-teman yang telah mencapai puncak duluan. Subhaanallaah...
Betapa indah alam raya ini, ciptaan Sang Maha Agung dengan kebesaran dan kekuasaan yang tiada tara.
Memang ada tantangan edan, gila, dan konyol diajukan bagi temen-temen yang sudah berada di puncak. Salah satunya adalah tantangan buka baju bagi para cowok. Temen-temen yang sudah di puncak duluan telah membuka baju mereka duluan dan berfoto dengan pose seperti itu. Sayangnya, saat aku tiba disana, aku membuka baju namun tak lama setelah aku membuka baju kabut datang dan menutupi luasan tempat kami berdiri. Aku tak dapat berfoto dengan pemandangan seperti itu setelah merelakan tubuh ini dimakan hawa dingin puncak Slamet. Beberapa saat kemudian, empat orang paling belakang yang aku tinggalkan sampai juga di puncak. Aku kira mereka terhenti di tengah pelawangan karena tak sanggup lagi. Akhirnya kami semua dapat berdiri di puncak tertinggi ini dengan selamat.
Tak sampai jam 09.00 pagi itu, kami segera turun karena cuaca yang mulai tak bersahabat. Kabut semakin tebal dan rintik hujan mulai mengiringi. Kami segera turun menuju tenda yang telah kami buat sebelumnya. Pelawangan Batu Merah kembali kami lewati dengan kaki yang akan selalu tergerus kerikil tajam disana. Kali ini aku juga tak sanggup membawa Kak Dina melewati pelawangan Batu Merah. Aku memutuskan untuk menuntun orang lain yang sekiranya fisiknya juga mampu menopangku ketika aku salah pijakan. Kak Lidia (Mahasiswi Departemen Biokimia 46) adalah orang yang aku bawa turun menyusuri pelawangan. Empat orang dari kami sampai duluan di tenda. Kami berunding sebentar untuk memutuskan lanjut atau tidak. Fisik kami yang mulai lapar dan lemas serta baju yang telah basah karena rintik hujan memaksa kami untuk turun duluan. Jika menunggu lebih lama di tenda yang juga basah saat itu, kami tak mungkin mampu bertahan lama. Kami turun duluan dengan rencana menyiapkan makanan dan minuman setelah sampai di pos V. Dua jam lamanya, cukup cepat dalam hitungan kami, tibalah di pos V. Kami tak menemukan apapun untuk dimasak, korek apipun tak ada. Rencana kami tak berjalan lancar...
Satu-satunya yang bisa kami lakukan hanya mengisi botol-botol kosong sebagai cadangan air minum temen-temen kami. Selanjutnya aku mengganti pakaian basah dengan sisa terakhir dari bajuku yang tidak tersentuh air, cuma agak lembab aja. Terlalu dingin jika ku biarkan tubuh ini dibaluti baju basah itu terlalu lama. Selang beberapa saat, tibalah temen-temen lainnya dengan kondisi yang tak kalah basahnya denganku. Kami beristirahat, makan, dan bersih-bersih secukupnya menjelang perjalanan turun. Kami terus berjalan turun dari pos V hingga sore kami tak kunjung datang di pos I. Padahal tujuan utama kami maksimal di pos I sebelum malam tiba. Kami kemalaman dan beberapa orang terlihat sudah mulai kehabisan energi, diantaranya ada juga yang mengalami keseleo dan lecet pada kakinya. Kondisi semakin parah menjelang pos I, sekelompok pendaki lain salah seorang anggotanya kesurupan, hypothermia, atau apalah aku tak tahu ditambah dengan Awa’ yang penyakitnya kambuh menjelang pos I ini. Berasa tulang punggungnya terangkat ke atas. Aku berusaha mengobatinya dengan olesan minyak fresh care yang diberikan Kak Lidia. Bang Fatur juga tak enak badan, Bang Riki, Bang Fuad, dan aku berusaha mengangkat Awa’. Setelah itu, aku angkat carrier yang dilempar karena tak sanggup dibawa lagi oleh temen-temen yang tak enak badan. Kami terpaksa menginap di pos I tanpa bekal yang tersisa selama perjalanan turun. Kami putuskan untuk melanjutkan perjalanan esok paginya, kami segera mendirikan tenda dan mengais sisa makanan yang mungkin masih ada. Kami beristirahat malam itu, menunggu tibanya sang surya esok hari.

Jum'at, 25 Januari 2013
Mentari bersinar begitu cerahnya, kami terbangun segera menikmati hangatnya cahaya raja siang ini. Kami berkemas merapikan tenda dan barang-barang yang masih berserakan. Sampah kami kumpulkan dan ada sebagian kami bawa turun.
Go home, guys...kami begitu menikmati perjalanan menjelang base camp. Tak sabar rasanya tiba disana untuk menikmati makanan seperti yang pertama kali kami makan disana. Perut sudah keroncongan dan badan sudah lemas. Air untuk melumasi tenggorokan tak ada yang tersisa. Namun, menjelang lahan perkebunan masyarakat suara riak air menggoda perjalanan kami. Beberapa dari kami mengambil air dari sungai sementara yang lainnya istirahat. Akhirnya tibalah kami di Base Camp pendakian. Senang rasanya telah berada disini lagi dengan selamat.
Terima kasih atas segala kisah ini ya Allah, kami tiba kembali dalam keadaan selamat setelah mendaki Slamet ini...

Beberapa dokumentasi selama perjalanan menuju puncak tertinggi Jawa Tengah