Rabu, 13 Februari 2013


Perjalanan Hidup Terune[1] Lombok Untukmu Pondok


Tidak seorang pun mengetahui apa yang akan terjadi hari esok pada hidupnya. Selasa, 7 Juli 1992, tepat pada hari ini seorang hamba yang penuh dengan kelemahan dilahirkan, aku.
Aku dilahirkan di sebuah desa yang  terletak di Kecamatan Sikur, Kabupaten Lombok Timur, Lombok, Nusa Tenggara Barat. Tepatnya desa itu bernama Tetebatu. Sebuah desa yang menjadi salah satu destinasi wisata di bagian timur pulau Lombok. Desaku menyuguhkan beberapa tempat wisata karena letaknya yang begitu dekat dengan Gunung Rinjani seperti air terjun dan kolam pemandian yang airnya langsung berasal dari pegunungan. Ya sudahlah kawan, sebenarnya bukan hal itu yang ingin aku ulas dalam tulisan ini.
Setamat Sekolah Dasar aku melanjutkan sekolah ke pondok pesantren yang terletak sekitar 20 kilometer dari desaku. Sebenarnya bukan aku yang memilih untuk melanjutkan pendidikan di tempat ini. Kakakku, dialah yang menjerumuskanku. Kakak tertua yang ada dalam keluarga. Pada awalnya, aku berencana tuk melanjutkan di sekolah yang terletak tak begitu jauh dari rumahku, SMP 3 Sikur. Sekolah yang menjadi idaman setiap lulusan SD di desa itu. Sepulang dari sekolah setelah pengambilan ijazah menjadi awal keberangkatanku ke Kota Santri (sebutan akrab pondok pesantren karena letaknya yang dekat dengan ibu kota kabupaten Lombok Timur). Memang tak ada yang menandingi rasa nyaman ketika di rumah. Di tempat baru ini terasa begitu asing, tak bersahabat, gelisah, galau dan cemas. Aku memang sudah beberapa kali menginjakkan kaki disini, sekedar bermain dan mengunjungi kakak-kakakku yang juga melanjutkan sekolahnya. Tapi tetap saja kawan, aku tak mudah menerima ini semua.
Selama menjalani masa-masa ta’lim, aku tinggal di sebuah gubuk kecil berdinding anyaman bambu dengan atap yang selalu bocor ketika musim hujan tiba. Rumah yang letaknya di madrasah khusus wanita ini tak seharusnya diperuntukkan bagi santri laki-laki. Eits, dalam artian tak tinggal bersama dengan santri putri, santri putri tinggal di tempat yang berbeda. Namun mau bagaimana lagi, keterbatasan biaya membuat kakakku memutuskan untuk menjebloskanku di tempat ini dengan adik iparnya yang lebih dulu menempatinya. Mengapa aku sampai tinggal di madrasah yang isinya khusus wanita ini kawan, memang tak ada tempat lain?. Madrasah khusus wanita ini bernama Madrasah Tsanawiyah Mu’allimat. Kakakku lama mengabdi di tempat ini sebagai seorang ustadz, sehingga dia diberikan izin oleh pengurus pondok untuk menggunakan rumah yang sebenarnya untuk penjaga madrasah ini dijadikan tempat tinggal untukku. Whatever kawan, yang penting ada tempat tinggal selama masa pembelajaran.
Tholabul ‘ilmi fariidlatun ‘alaa kulli muslimin wa muslimatin, sebuah hadits yang paling awal ku pelajari pada pelajaran mahfudzoth di madrasah tercinta. Sepertinya aku mulai menyukai dan mencintai madrasah ini kawan. Aku kira hadits ini cukup menggambarkan bagaimana tuntutan kepada seorang muslim untuk terus menuntut ilmu. Alhamdulillah, aku dapat menikmati pendidikan kembali kawan.
O ya kawan, aku hampir lupa memberitahukan apa nama madrasahku. Namanya Madrasah Tsanawiyah Mu’allimin yaitu madrasah tertua yang didirikan di pondok pesantren ini sekitar tahun 1937. Madrasah ini menjadi awal pergerakan para santri tidak hanya berjuang melawan kebodohan tetapi ikut berjuang melawan kekejaman para penjajah Belanda saat masih menduduki Pulau Lombok. Pondok pesantrenku bernama Yayasan Pondok Pesantren Darunnahdlatain Nahdlatul Wathan. Pondok pesantrenku ini tidak hanya bergerak dalam bidang pendidikan, akan tetapi dalam bidang sosial dan dakwah juga. Sehingga Nahdlatul Wathan tidak hanya dikenal sebagai zona pondok pesantren, ia juga dikenal sebagai organisasi masyarakat terbesar di pulau Lombok. Ini salah satu alasan aku mulai menyukai dan mencintai madrasah ini. Penuh cerita dan sejarah perjuangan yang begitu luar biasa. Bahkan setiap ustadz atau ustadzah memasuki ruang kelas, mereka selalu bercerita dengan penuh semangat mengenai perjuangan para santri yang menjadi syuhada’ melawan penjajah tempo dulu. Tidak hanya itu alasan tuk bertahan di madrasah ini kawan. Setelah melakukan registrasi santri baru, keesokan harinya aku harus menjalani tes masuk madrasah. Saat ini adalah awal sosialisasi, ku jumpai seorang teman yang sampai saat ini masih menjadi sahabatku. Dia begitu baik dan ramah, bahkan kalau pergi ke rumahnya aku tidak diizinkan pulang sebelum ada sesuatu yang harus dibawa sebagai oleh-oleh. Orang tua temanku ini adalah seorang petani, mereka tidak hanya menanam padi, sayur-sayuran juga turut turut menjadi permadani hijau di sawah mereka sehingga setiap kembali ke pondok pasti aku membawa sekantong besar sayur mayur. Ini gratis without pay anything.
Di madrasah, aku termasuk orang yang pendiam menurut sebagian teman-temanku. Jarang berbicara kecuali pada saat belajar di kelas menjadi ciri khasku. Sehingga pada beberapa hari ketika aku tak bisa masuk mengikuti pelajaran karena sakit, kelas terasa sunyi dan beberapa orang ustadz/ustadzah mencariku berdasarkan penuturan salah seorang temanku. Tahu tidak kawan, semenjak kelas pertama sampai terakhir madrasah tsanawiyah, aku selalu ditunjuk oleh teman-teman sebagai ketua kelas dan aku tak dapat menghindari hal ini, selalu dan selalu. Proses edukasi terus berjalan dengan segenap aktivitas di  dalamnya. Doa, mukhodoroh[2], dan menyanyikan salah satu lagu perjuangan Nahdlatul Wathan menjadi rutinitas seharian sebelum memasuki ruang kelas.
            Alhamdulillah, pada tahun pertama aku bisa memperoleh juara pertama setiap semesternya serta berhasil pula memperoleh juara umum dua saat itu. Itu merupakan kebanggaan tersendiri bagi seorang perantau sepertiku. Aku tak menyangka dapat menyabet prestasi ini. Tahun pertama pun  berlalu, time to time gone. Masuk di tahun kedua, semester pertama dengan jabatan yang sama, ketua kelas. Dengan jabatan yang selalu seperti ini membuatku selalu menjadi pilihan terakhir saat teman-teman yang memiliki giliran mengisi acara pagi hari untuk memimpin doa, mukhodoroh, dan menyanyikan salah satu lagu perjuangan tidak dapat memenuhi giliran mereka. Ini luar biasa kawan, pengaruhnya masih aku rasakan sampai saat ini yaitu berani tampil di depan umum dalam keadaan tidak siap. Terkadang aku dan semua teman sekelas sesekali mendapat hukuman karena tak ada seorang pun yang mengisi kegiatan rutin ini. Aku juga bukan orang yang selalu memiliki materi yang disampaikan dalam ketidaksiapan. Finally, beberapa goresan merah tergambar dibagian betis kami. Ada yang berbeda dalam peraihan prestasi akademik semester pertama di tahun kedua ini. Aku berada pada peringkat keempat. Tidak selama orang berada di atas kawan. Peringkat pertama diraih oleh anak pengurus pondok, selanjutnya oleh teman lainnya. Memang pada saat kelas pertama aku tak sekelas dengannya. Dan aku yakin, ada pilih kasih yang diberikan padanya karena dia anak seorang pengurus pondok. Saat dia membuat kesalahan pun, ustadz dan ustadzah tak berani bertindak. Semester kedua tiba, peringkat pertama dapat ku raih kembali. Tahun ketiga tiba, akhirnya sudah berada di kelas terakhir jenjang tsanawiyah kawan. Pembelajaran demi pembelajaran terus berjalan hingga akhirnya ujian tiba dan aku lulus dengan nilai yang cukup memuaskan.
The plane can’t turn back, hidup terus bergerak ke depan tanpa bisa kita kembali ke masa sebelumnya. Mari merajut masa depan kawan.
Tepatnya Juli 2008, awal cerita perjuangan edukasi jenjang madrasah aliyah. MA Mu’allimin, nama madrasah yang sama dengan jenjang madrasah tsanawiyah karena memang madrasah ini pada awalnya merupakan satu madrasah yang menyelenggarakan pendidikan selama 6 tahun bagi santrinya. Sebagian besar dari teman-temanku melanjutkan ke madrasah ini. Kami berkumpul kembali dengan alasan yang hampir sama, kebarokahan ilmu yang berkelanjutan di pondok pesantren ini. Sejak awal, kami selalu ditanamkan tiga prinsip dasar kehidupan oleh para ustadz yaitu yakin, ikhlas, dan istiqomah. Dan prinsip ini yang terus dipegang oleh para santri lulusan atau abituren pondok pesantren. Aku yakin prinsip ini juga yang membawa kami menuju madrasah aliyah.
Madrasah aliyah berada sekitar 350 meter dari madrasah tsanawiyah. Madrasah yang luasnya setara dengan lapangan sepak bola. Madrasah yang cukup luas sehingga tak jarang aku menemukan anak-anak yang tinggal di sekitar madrasah bermain bola di lapangan madrasah. Tahun pertama, dengan kelas berada di pojok bangunan madrasah, aktivitas belajar mengajar berlangsung. Kelas yang dianggap sebagai kelas favorit saat itu. Ketua kelas, jabatan yang akrab sekali denganku mendatangi diriku lagi. Namun aku tak pernah menolak untuk menduduki jabatan ini. Jabatan ini yang membuatku lebih akrab mulai dari lingkungan kelas sampai lingkungan kantor para ustadz. Keharusan para ketua kelas mengambil kapur tulis ke kantor membuatku sedikit dikenal oleh para ustadz di madrasah ini dibandingkan teman-teman yang tak menduduki jabatan ini. Kawan, alhamdulillah pada semester pertama di tahun pertama aku bisa menyabet juara pertama di kelas. Ada pengalaman yang paling berkesan di tingkat ini kawan, aku pernah dikirim untuk mengikuti English Debate Contest menanggapi issu lingkungan. Aku dikirim sebagai utusan madrasah bersama dengan 5 orang teman yang merupakan kakak kelasku. Aku bukanlah orang yang terlalu mahir dalam bahasa asing ini kawan, tapi aku tak tahu alasan ustadz bahasa inggris menunjukku untuk lomba ini. Ini pertama dan terakhir kali aku mengikuti lomba debat. Pada saat lomba aku hanya yakin mampu memberikan hal terbaik bagi madrasah walaupun dengan kemampuan seadanya. Walaupun tidak melekat predikat pemenang pada kami saat itu, setidaknya ada pengalaman dan kesempatan yang berharga tergores dalam catatan hidup kami yang mengikuti lomba tersebut. Sebagai obat kekesalan karena tak memenangkan lomba, kami langsung bergegas menuju pantai Senggigi. Salah satu pantai paling tersohor di Lombok yang kerap dikunjungi para wisatawan domestik dan mancanegara. Tentu saja, kami pun tak melewatkan kesempatan berbincang dengan para wisatawan asing di tempat ini sebagai obat kekecewaan. Begitu impresif kawan...
Pada semester berikutnya, peningkatan prestasi yang cukup menakjubkan kawan, syukur yang sebesar-besarnya pada Sang Kholik atas nikmat ini. Akhirnya, aku bisa memegang predikat juara umum pertama di madrasah ini.

Sophomore in this beloved school...
Apa ceritaku di kelas dua ini kawan?. Aku dicalonkan untuk memimpin organisasi intra di madrasah atau yang biasa disebut OSIS. Kali pertama menduduki jabatan setinggi ini menurutku, kawan. Tak sedikitpun terbayang di benakku menduduki jabatan ini, sudah cukup ketua kelas saja yang akrab bagi diri ini pikirku. Hari demi hari ku jalani, berangkat lebih awal dari santri lainnya bahkan harus menjadi santri yang pertama kali menginjakkan kaki di tanah madrasah guna mempersiapkan kegiatan rutin setiap paginya sebelum memasuki ruang kelas. Pada waktu yang bersamaan di tengah-tengah kepengurusan OSIS, aku ditunjuk sebagai wakil dalam forum OSIS se-Lombok Timur (Fosil). Di samping itu, aku dipercayakan juga sebagai sekretaris dalam kepengurusan Pusat Informasi dan Konseling Kesehatan Reproduksi Remaja (PIK-KRR) di ligkungan yayasan. Alhamdulillah, aku mulai menyadari tidak hanya di bangku kelas ilmu dapat ku tuai, namun ilmu yang terkait pengalaman dan soft skill aku peroleh dari perjalanan organisasi. Dalam akademik, step by step wawasan dan pengetahuan ini makin terasah. Aku banyak mengikuti lomba-lomba yang diadakan oleh berbagai instansi pendidikan seperti olimpiade, pidato dan lainnya. Terasa manfaat yang besar ketika mengikuti organisasi dan berbagai lomba. Dalam organisasi aku ditempa untuk berpikir dan berempati terhadap orang lain serta membangun suatu social network antar sesama rekan dalam organisasi tersebut. Dalam setiap perlombaan aku ditempa untuk selalu siap menghadapi ujian, memacu kapabilitas diri dan belajar menerima kekalahan dengan cara yang bijak.
Seperti yang telah aku katakan sebelumnya kawan, hidup tak selalu berada dalam kejayaan akan tetapi kita harus siap menerima kegagalan. Saat kelas dua ini, aku tak lagi memiliki tempat tinggal karena rumah tempat tinggalku selama ini yang berada di madrasah khusus putri tak lagi memberiku ruang. Penjaga madrasah yang baru saja pindah ke tempatku membuat segalanya berubah. Aku harus tinggal di ruang OSIS yang terus memanggang tubuh setiap siang harinya dikarenakan atapnya yang terbuat dari seng, tempat yang begitu bising ketika hujan tiba, dan tempat menyajikan aroma pesing kotoran tikus yang beranak pinak di tempat ini. Aku mulai berpikir lebih bijak pada saat itu, aku bisa hidup dengan keadaan seperti ini. Sometimes, aku mengundang teman-teman OSIS yang lainnya untuk mau menginap di tempat ini. Namun mereka lebih memilih untuk membawaku ke tempat tinggal mereka agar aku menginap disana dengan pertimbangan daripada mendekam di tempat seperti itu. Sesekali juga mereka menyempatkan diri berkumpul bersama di ruang OSIS ini ketika ada acara yang kami laksanakan.
Kepengurusan OSIS periode ini berakhir menjelang kenaikan kelas. Dalam semester ini, juara pertama mampu ku peroleh kembali. Organisasi tak menghalangi segudang prestasi pada diri ini.
Tingkat terakhir pada masa-masa putih abu-abu. At the third grade, tingkat yang mengharuskan setiap santri mulai berpikir akan kemana mereka pergi setelah lulus nanti. Ada beragam pilihan yang mulai muncul, melanjutkan ke perguruan tinggi atau mulai mencari kerja atau merantau ke negeri jiran Malaysia atau bahkan pilihan untuk menikah. Pilihan-pilihan inilah yang mungkin setiap santri miliki di tingkat ini. Di sisi lain, ini merupakan tingkat yang paling mendebarkan, tingkat yang menentukan kami bisa lulus atau tidak dengan menjalani ujian yang hanya berkisar empat hari. Memang saat-saat ini, sebagian besar teman-temanku memutuskan untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi dan tentu ujian tahun ini menjadi pertimbangan besar mereka.
Begitu pula aku kawan, aku ingin sekali melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Pada awalnya aku berpikir untuk tetap mengenyam pendidikan di pondok pesantren. Aku ingin memasuki sekolah tinggi keguruan ilmu pendidikan yang ada di pondok. Namun, ketahuilah kawan bahwa impian terbesarku saat itu adalah aku ingin memperoleh beasiswa di dalam ataupun di luar negeri. Seperti halnya pendahuluku yang saat itu mengenyam pendidikan di Institut Pertanian Bogor. Dia yang selalu memberikanku informasi mengenai beasiswa terutama beasiswa yang selalu menjadi langganan madrasah kami, beasiswa Kementerian Agama RI. Impian besar ini yang memacuku untuk terus belajar, belajar,dan belajar. Mungkin pada masa-masa seperti ini tak lagi terbersit dalam pikiranku  untuk menjadi juara pertama di kelas. Aku lebih memikirkan pada kelulusan dan memperoleh beasiswa sehingga biaya pendidikan tak lagi membebani keluargaku. Hari demi hari, bulan demi bulan terlewati hingga tiba saatnya ketika informasi beasiswa datang dari madrasah. Lima orang santri yang menyandang predikat nilai terbaik di kelas diperintahkan untuk mengisi formulir beasiswa dari Kementerian Agama ini. Dan aku termasuk salah seorang di dalamnya kawan. Alhamdulillah, pada semester-semester sebelumnya aku mampu mempertahankan prestasi dalam peringkat pertama di kelas sehingga aku terpilih untuk mengisi formulir tersebut. Akhirnya tes beasiswa pun tiba dan sekitar 20 orang santri dari pondokku berangkat menuju tempat tes yang berjarak sekitar 50 kilometer. Kedatangan bus kami terlambat. Para santri yang berasal dari pondok lainnya sudah mulai mengisi lembar jawaban tes mereka. Dengan penuh rasa khawatir, cemas dan sedikit tergesa aku mulai mengerjakan soal tes yang disuguhakan pada oleh pengawasa tes hari itu. Beberapa bulan setelah itu, seiring dengan berakhirnya ujian nasional, pengumuman hasil tes beasiswa pun dikeluarkan. Pada awalnya aku sudah hopeless karena informasi sebelumnya mengenai tidak adanya santri yang lulus dari pondok pesantrenku karena keterlambatan pengumuman khusus untuk beberapa universitas, salah satunya IPB. Pada pengisian formulir pendaftaran, aku memilih IPB sebagai pilihan universitas dan dua pilihan jurusan opsional di universitas ini. Walau sedikit terlambat dari universitas lainnya, akhirnya pengumuman untuk IPB keluar juga. Kakak kelasku menelponku saat itu untuk mengabarkan bahwa aku telah lulus di IPB dengan jurusan yang sama dengannya dan merupakan pilihan keduaku. Aku langsung memeriksa situs yang pada awalnya membuatku hopeless tersebut. Ternyata benar saja kawan, aku lulus program beasiswa Kementerian Agama. Dengan nama yang berada pada urutan terakhir di daftar itu, aku begitu bahagia kawan. Seminggu setelahnya, aku harus berangkat ke Bogor sehingga aku harus segera melengkapi berkas-berkas yang dibutuhkan. Hari keberangkatan pun tiba, segalanya telah dipersiapkan dan sepertinya aku sudah siap untuk menginjakkan kaki di IPB.
Tepatnya Juni 2011, akhirnya aku telah berada di kota hujan, Bogor. Hari demi hari berlalu, masa edukasi berjalan dengan berjuta cerita di dalamnya. Mulai dari masa matrikulasi sampai dengan masa kuliah terus mencipta kisah yang begitu mengesankan. Masa perjuangan menimba ilmu yang berharga ini tak kan aku sia-siakan kawan. Aku akan berusaha mengasah dan menuntut ilmu, skill, pengalaman hidup di bangku kuliah ini sehingga pada akhirnya nanti tidak hanya ilmu yang akan terbawa pulang ke pondok pesantren, namun keterampilan, wawasan, nilai-nilai dan apapun yang telah aku peroleh pada masa ini. Bersama keluarga besar CSS MoRA IPB aku menapaki semua pengalaman edukasi yang ada saat ini.
Akan tiba saatnya, aku memberikan sumbangsih pada pondokku tercinta. Aku kerahkan seluruh potensi yang aku miliki. Pengembangan pesantren dalam bidang teknologi dan kewirausahaan menjadi impian besarku. Peningkatan prestasi akademik dalam dirosah diniyah dan ‘ammiyah pondok pesantren menjadi impian besar selanjutnya.

Nantikan kepulanganku, wahai pondokku.
Aku tak kan melupakanmu selama menimba ilmu di negeri rantauan ini.
Aku terus mengharapkan cucuran do’a para ulama dan kiai, sang murabbi dari pondok yang dengan ikhlas mengajarkan ilmunya padaku.
Aku pun terus mendoakanmu, wahai pondokku.
Sampai jumpa pondokku...


[1] Terune; bahasa suku sasak yang artinya anak muda
[2] Mukhodoroh; sejenis kultum yang menjadi rutinitas santri di pondok






Tidak ada komentar:

Posting Komentar