Selasa, 12 Februari 2013

Adventure of Mount Slamet (3428 mdpl)


Ukiran Cerita di Daratan Tertinggi Jawa Tengah
Lebih Dekat Dengan Langit, Kaki Tetap Memijak Bumi

Mungkin tidak terdengar asing pepatah yang sering diucapkan guru-guru kita sejak masa SD dulu yang mengatakan “Gantungkan cita-citamu setinggi langit”. Kali ini, aku akan bercerita mengenai perjalanan mengejar mimpi dan cita untuk mencapai puncak tertinggi di Jawa Tengah. Mencoba lebih dekat dengan hamparan langit, namun kaki tetap berpijak pada hamparan daratan. Seolah menggantung cita dan impian itu, kawan...

Senin, 21 Januari 2013
Yellow Corner, tempat para penantang impian, pemijak bumi nan tinggi menunggu datangnya satu orang anggota lagi, yaitu aku. Aku datang paling telat dalam kelompok ini. Kawan-kawan yang sungguh setia menunggu kedatanganku. Aku mempersiapkan segala kebutuhan mulai dari malam harinya. Mulai dari perbekalan logistik sampai dengan alat-alat yang perlu dibawa dalam pendakian. Termasuk juga berdoa sebelum berangkat yang membuatku agak telat hadir di tempat yang telah disepakati. Sebelum berangkat, aku mendirikan shalat ashar terlebih dahulu, teriring doa kepada Allah Swt. Agar perjalanan kami semua berjalan lancar.
Yellow Corner, menjadi titik awal cerita ini. Kami sempat bertemu salah seorang dosen dari departemen kami dan dapat berfoto juga dengan beliau sebelum berangkat menuju Jawa Tengah. Tiba juga saatnya, angkot pun tiba untuk kami bertolah dari Bogor. Saat akan memasukkan carrier dengan seluruh perkakas di dalamnya ke dalam angkot, tali carrier yang yang aku bawa putus karena terinjak oleh sepatuku. Carrier yang aku bawa adalah carrier pinjeman dari salah seorang temanku yang juga ikut mendaki saat itu. Carrier yang sudah lapuk dimakan waktu karena telah menemani temanku ini selama kurang lebih 5 tahun sejak ia masih berada di bangku SMP. Aku tidak tahu harus bagaimana mengatasi masalah ini, di awal perjalanan sudah disambut dengan kejadian seperti ini. Tak tahu harus mencari alat jahit dimana. Beberapa teman menyarankan untuk mencari pinjaman carrier saat telah tiba di base camp nanti, namun sang pemilik tas mencoba mencari alternatif yang lebih murah, yaitu menemukan alat jahit atau apapun yang bisa menyambungkan tali tas itu lagi.
Kami pun tiba di terminal bus Baranang Siang,  kami langsung mencari informasi keberangkatan bus. Sedangkan aku dan Je mencari alat yang bisa menyatukan tali tas itu, bila perlu langsung dengan tukang jahitnya jika ada. Huuuhhh, ternyata tak ada sama sekali. Akhirnya, toko perkakas yang ada di Botani Square menjadi pilihan akhir. Kami menemukan tali-talian yang biasa digunakan untuk mengikat kabel. Mau gak mau, ya udah lah, yang penting bisa diikat kembali carrier itu.
Berselang beberapa saat, tibalah waktu keberangkatan bus kami. Kami bergegas mengambil carrier kami masing-masing dan langsung menaiki bus. Kami pun bertolak dari Bogor menuju Purwokerto.

Selasa, 22 Januari 2013
Setelah melewati perjalanan pada malam harinya, tibalah kami di terminal bus Purwokerto. Tak terasa kaki ini telah berpijak di tanah Jawa Tengah. Waktu shubuh kami tiba di tempat ini. Kami bergegas mengambil air wudlu untuk menunaikan shalat shubuh. Kemudian kami beristirahat sejenak menunggu penjemputan dari base camp pendakian. Kami bertemu beberapa warga yang juga beristirahat sejenak sebelum melanjutkan perjalanan mereka.
Jemputan datang, dengan mobil pick up hitam kami akan mengawali petualangan di daratan Jawa Tengah ini. Carrier kami naikkan ke mobil dan ternyata cukup menghabiskan banyak tempat. Berjejal deh jadinya...
Capcus menuju base camp, perjalanan menghabiskan waktu sekitar 2 jam dari terminal Purwokerto. Cukup membuat pantat panas dan pegel...
Dalam perjalanan, kami disuguhkan pemandangan yang cukup indah. Kebun sayur masyarakat yang menghijau, hutan pinus, rumah warga dengan gerbang menarik dari bilah bambu berbentuk setengah lingkaran, serta tak ketingalan Gunung Slamet yang terpampang di depan mata ini.
Kami pun tiba di base camp, beberapa kelompok pendaki yang baru saja turun menyambut hangat kedatangan kami. Sementara melepas lelah, kami berbincang sejenak dengan para pendaki tersebut, tak ketinggalan juga perbincangan kami dengan tim sars yang bertugas disana. Setelah itu, kami segera bersiap-siap mulai dari packing ulang barang hingga isi ulang tenaga dengan menyantap makanan yang disiapkan oleh pihak base camp (tentunya gak gratis brow...).
Sekitar pukul 11.00 siang itu, kami melangkahkan kaki, bergerak menyusuri jalan setapak track pendakian Gunung Slamet. Kami disambut oleh sebuah gerbang bertuliskan “Gerbang Pendakian Gunung Slamet Pos Bambangan Kabupaten Purbalingga” karena memang jalur pendakian ini yang kami pilih untuk mencapai puncak tertinggi di Jateng. Perjalanan awal kami disuguhi dengan ladang perkebunan sayuran masyarakat desa yang ditanami kol, wortel, dan beberapa jenis sayur lainnya. Tak lama berselang, kami telah ada di penghujung ladang tersebut, kami disambut dengan kabut yang mulai menutupi pandangan. Rintik hujan pun datang di sela-sela kabut yang cukup tebal. Kami mulai menyiapkan rain coat, baju hujan dan ponco. Kami lanjutkan perjalanan dengan kondisi hujan dan kabut. Sesekali kami selingi perjalanan dengan canda dan gurauan beberapa orang untuk memecah kesunyian. Deraian hujan tak berlangsung lama, kami anggap hanya sambutan baik bagi kami dari Gunung Slamet. Langkah demi langkah kami lalui, sesekali kami beristirahat sambil mengambil napas panjang menghirup sejuknya hawa pegunungan. Pos pertama tak kunjung tiba, kami merasa telah menempuh perjalanan yang cukup lama.
Kaki terasa pegal untuk menapak lebih jauh lagi. Finally, sekitar pukul 13.20, kami sampai pos I (Pondok Gembirung) setelah harapan dan penantian selama perjalanan. Kami masuk dan beristirahat sambil menyantap makanan ringan yang kami bawa di gubuk beratap dan berdinding seng ini. Kurang lebih 20 menit beristirahat di tempat ini cukup memberi kami tenaga untuk melanjutkan perjalanan. Perjalanan kami lanjutkan dengan menyusuri hutan, melawan dinginnya hawa khas pegunungan, menikmati deraian rintik hujan yang airnya sedikit demi sedikit mulai merembes di sela-sela jaket kami. Kami tiba di pos II (Pondok Walang), beristirahat sejenak lalu menyiapkan diri untuk melaksanakan shalat dzuhur dan ashar yang kami jamak. Hujan tak kunjung berhenti, langit nan mendung rupanya cukup mendukung selalu hadirnya tetesan air dari langit. Setelah shalat kami melanjutkan perjalanan menuju pos selanjutnya, berharap menemukan pos III sebelum hari mulai gelap. Namun ternyata hari yang mulai gelap memaksa kami untuk break di antara pos II dan III. Kami tak sanggup melanjutkan perjalanan dengan kondisi lingkungan seperti itu, hujan yang kian deras membuat track menjadi licin ditambah kondisi kami yang sudah sangat lelah. Kami terhenti di tengah-tengah sehingga kami coba mencari tempat yang agak datar untuk beristirahat dan cocok untuk mendirikan tenda. Kelompok pertama dari kami berdiam di suatu tempat yang lumayan datar dibandingkan daratan yang telah dan akan kami lalui. Hanya menggunakan ponco membuat atap sederhana pelindung dari hujan, kami berteduh di bawahnya. Sebagian besar dari kami menggigil kedinginan. Coba mencari tempat yang lebih lapang lagi, Bang Riki (kakak tingkatku, anak kelahiran Papua, terkuat dalam kelompok kami) berlari ke atas dan menemukan satu tempat yang lumayan datar, kami terpisah menjadi dua. Kami yang ada di bawah mencari kehangatan dengan menggosok-gosokkan tangan dan berdiri berdekatan. Salah seorang teman yang bernama Muti kelihatannya masuk angin dan tak tahan terhadap hawa dingin yang terus menusuk badan, dia muntah-muntah sambil menggigil kedinginan. Begitupun anggota kelompok yang lain, semakin lama semakin tak bisa bertahan. Sebenarnya begitu beresiko perjalanan kami, tetap jalan dengan medan terjal licin berlumpur pada kondisi lemah dan lapar atau diam mendirikan tenda menghadapi dinginnya pegunungan ditambah deraian hujan yang tak kunjung henti, hipothermia pasti menghampiri. Memang pilihan yang membuat dilema. Dan pilihan kedua inilah yang kami hadapi. Berhadapan dengan resiko hipothermia, kami coba mendirikan tenda. Namun, kelihatannya tenda tak cukup berkompromi dengan kondisi kami. Rangkanya tak bisa berdiri tegak membuat tenda itu terlihat bak tenda tertiup angin besar. Ya sudah, seadanya aja yang penting bisa digunakan untuk berteduh. Di dalam tenda tersebut, kami coba menyalakan parafin yang sudah basah dan untungnya saja bisa menyala. Parafin yang jumlahnya terbatas tak ingin kami sia-siakan hanya untuk menghangatkan badan. Dua atau tiga batang parafin terbakar sudah cukup membuat hangat badan kami. Satu tenda telah berdiri walau dengan kondisi yang tak diharapkan di saat-saat seperti itu. Keadaan kami tak memungkinkan untuk mendirikan tenda lagi, tubuh yang mulai menggigil serta tangan yang mulai tak berasa seolah melarang kami. Akhirnya dengan penutup tenda seadanya tanpa rangka, kami memutuskan untuk tidur di dalamnya dengan matras dan sleeping bag. Hanya empat orang saja yang mampu ditampung oleh tenda ini, aku dan tiga orang lainnya. Lima orang lainnya mencoba membangun tenda yang tak jauh posisinya dengan tenda cewek. Dengan posisi tidur yang berdesak-desakan di tanah sedikit landai tapi lebih mirip saluran air membuatku khawatir ada batu yang menggelinding atau hewan yang lewat lalu menginjak kami yang sedang tidur. Tapi aku tak peduli karena yang aku pikirkan hanyalah mempertahankan suhu tubuh agar tetap hangat.

Rabu, 23 Januari 2013
Sekitar pukul 5 pagi itu, kami terbangun. Aku dibangunkan dengan suara celotehan jari Kak Rici (ketua baru BEM FEMA, juga Asprak Matkul Komkel ku) di atas keypad hand phonenya. Ternyata dia menemukan sinyal di dalam selubung kepompong itu...
Aku keluar tenda dan ku temukan beberapa teman yang telah bangun duluan. Kami bersiap-siap melanjutkan perjalanan kembali. Tenda dan barang-barang yang kami sempat lemparkan malam itu kami rapikan seraya mempersiapkan sarapan. Beberapa bungkus mie instan, kopi, dan roti kami keluarkan dari carrier anggota yang membawa bahan makanan. Cahaya kuning mentari pagi itu cukup menyumbangkan kehangatan bagi tubuh kami yang didera kedinginan sejak malamnya.
Beberapa saat kemudian, kaki kami mulai menapak kembali melintasi medan terjal dan sempit menuju pos selanjutnya. Uluran tanganku tak pernah henti kepada Kak Dina (kakak kelas angkatan 47, pertama kali naik gunung, teman sekelas Matkul Antropologi Sosial) yang selalu membutuhkan bantuan dan tak bisa ditinggal. Setiap beberapa menit perjalanan, kami break sejenak untuk meneguk air minum dan mengatur pernapasan. Beberapa medan yang sangat curam kami hadapi sehingga membutuhkan tali sebagai pegangan. Tibalah kami di pos III (Pondok Cemara) sekitar pukul 09.20. Kami beristirahat sejenak, aku ambil sepotong roti yang ditawarkan salah seorang teman sebagai penawar rasa lapar. Perjalanan kami lanjutkan kembali melewati medan yang sedikit datar ditutupi semak yang cukup lebat, selanjutnya kembali kami lewati track menanjak seperti biasanya. Sampailah kami di pos IV (Pondok Samarantu) pada pukul 10.45. Konon katanya, pondok ini berasal dari kata samar-samar hantu karena di tempat ini masih kental bau mistis. Di pos ini kami menemukan sisa-sisa pohon yang terbakar dengan area yang cukup luas. Menurut penuturan, telah terjadi kebakaran besar pada akhir tahun 2012 lalu yang disebabkan bara api pendaki sebelumnya yang tertiup angin sehingga melahap hutan sekitarnya. Kami pun tak berlama-lama di pos ini, kami juga dilarang untuk mendirikan tenda jika seandainya kemalaman di sekitar pos ini. Perjalanan kami lanjutkan, sepanjang perjalanan kami disuguhkan pemandangan pohon-pohon sisa kebakaran yang cukup banyak membuktikan area kebakaran yang cukup luas. Tak terasa kami telah sampai di pos V (Pondok Mata Air) pada pukul 11.30. Kami beristirahat sejenak di tempat ini. Kami temukan beberapa orang pendaki yang berdiam disana, selanjutnya barang-barang kami masukkan ke dalam pondok. Pondok Mata Air ini persis sama dengan pondok I, namun di dalamnya dilengkapi dengan sejenis panggung dari papan. Kami memutuskan untuk beristirahat disini hingga malam tiba. Cuaca yang terus hujan tak memungkinkan kami melanjutkan perjalanan ke pos berikutnya. Sesuai dengan namanya, di pos ini kita akan menjumpai mata air yang mengalir, berjarak sekitar 100 meter dari pos. Kami mengambil persediaan air, kemudian memasak dan mempersiapkan segala sesuatunya untuk mencapai pos berikutnya. Kami coba membuat api unggun untuk menghangatkan badan. Hingga malampun tiba, hujan tak kunjung reda, kemudian kami mengatur posisi tidur sedemikian rupa untuk menghalau hawa dingin yang semakin menusuk. Lumayanlah, kami dapat istirahat cukup pulas sebelum melanjutkan perjalanan.

Kamis, 24 Januari 2013
Sekitar pukul 12 malam itu, kami lanjutkan perjalanan menuju pos berikutnya. Barang-barang kami tinggalkan di pos V dan membawa barang secukupnya. Sesuai rencana kami akan langsung mengeksekusi summit attack dari sini. Dalam gelapnya malam kami berjalan menyusuri jalan setapak yang vegetasi tumbuhan sudah mulai jarang. Jalan yang dilalui seperti parit-parit kecil aliran air yang mengalir. Perjalanan diselingi istirahat pendek, selanjutnya berjalan lagi dan lagi. Sampailah kami di pos VI (Pondok Syamyang Jampang) dan tak perlu berlama-lama, kami lanjutkan menuju pos VII. Perjalanan menuju pos VII, kami melalui jalan yang kemiringannya cukup menantang adrenalin. Sesekali dalam perjalanan kami menjumpai pohon edelweis yang tumbuh di sisi jalan, namun tak berbunga. Edelweis yang kami jumpai tak cukup banyak, hanya berkisar beberapa pohon saja. Sekitar pukul 01.15, kami tiba di pos VII (Pondok Syamyang Kendit). Terdapat bangunan pos seperti yang kami temui di pos V, namun sedikit bolong pada dinding sengnya. Di pos ini, kami beristirahat cukup lama sambil memutar beberapa musik galau. Dari pos ini juga kita dapat menikmati pemandangan lampu-lampu daratan kota dan daerah lainnya. Tak ketinggalan pemandangan awan-awan yang sudah mulai berada di bawah kami. Inilah samudera di atas awan itu, kawan...
Perjalanan kami lanjutkan, perjalanan yang membutuhkan ketegaran, kesabaran, dan keteguhan hati yang sesungguhnya, summit attack. Jalan yang dilalui kami temukan mulai berbatu nan tajam, terkadang kaki merosot jika pijakan tidak tepat. Kami sempat mendirikan tenda untuk beristirahat karena rintik hujan yang mulai menemani ke puncak tertinggi. Tenda kami dirikan di daerah yang sedikit datar, namun dekat sekali dengan jurang yang curam. Puncak sudah di depan mata, begitu semangat rasanya untuk menggapai puncak tertinggi di Jawa Tengah ini. Setelah hujan mulai reda, kami lanjutkan pendakian menuju puncak ini. Kami mulai menemukan jalan yang ditutupi batu-batu kerikil berwarna merah, track ini disebut batu merah. Batu-batu yang cukup tajam membuat kami harus waspada pada pijakan dan pegangan ketika kami merangkak. Sekitar pukul 5 pagi itu, kami terus memijakkan kaki pada kerikil tajam sepanjang track summit attack. Sesekali kami bercanda sambil mengambil foto-foto dengan pemandangan nan indah. Mentari mulai menampakkan dirinya di balik awan langit ufuk timur. Cahaya merah jingga menyinari sepanjang track yang kami lalui memberi semangat untuk mencapai puncak Gunung Slamet. Dari tempat ini juga, kami dapat menyaksikan empat puncak gunung lainnya yang menjulang tinggi, Merbabu, Sindoro, Sumbing, dan Merapi. Aku tak kuat lagi menuntun Kak Dina untuk menuju puncak, aku takut merosot karena track yang begitu curam. Entah dimana jasad ini akan terlempar jika menggelinding ke bawah, ngeriii...aku limpahkan tanggung jawab ini kepada Bang Riki yang cukup kuat membawanya. Inilah puncak dengan segala kemegahan yang disuguhkan, sekitar pukul 06.20 pagi itu aku menyusul teman-teman yang telah mencapai puncak duluan. Subhaanallaah...
Betapa indah alam raya ini, ciptaan Sang Maha Agung dengan kebesaran dan kekuasaan yang tiada tara.
Memang ada tantangan edan, gila, dan konyol diajukan bagi temen-temen yang sudah berada di puncak. Salah satunya adalah tantangan buka baju bagi para cowok. Temen-temen yang sudah di puncak duluan telah membuka baju mereka duluan dan berfoto dengan pose seperti itu. Sayangnya, saat aku tiba disana, aku membuka baju namun tak lama setelah aku membuka baju kabut datang dan menutupi luasan tempat kami berdiri. Aku tak dapat berfoto dengan pemandangan seperti itu setelah merelakan tubuh ini dimakan hawa dingin puncak Slamet. Beberapa saat kemudian, empat orang paling belakang yang aku tinggalkan sampai juga di puncak. Aku kira mereka terhenti di tengah pelawangan karena tak sanggup lagi. Akhirnya kami semua dapat berdiri di puncak tertinggi ini dengan selamat.
Tak sampai jam 09.00 pagi itu, kami segera turun karena cuaca yang mulai tak bersahabat. Kabut semakin tebal dan rintik hujan mulai mengiringi. Kami segera turun menuju tenda yang telah kami buat sebelumnya. Pelawangan Batu Merah kembali kami lewati dengan kaki yang akan selalu tergerus kerikil tajam disana. Kali ini aku juga tak sanggup membawa Kak Dina melewati pelawangan Batu Merah. Aku memutuskan untuk menuntun orang lain yang sekiranya fisiknya juga mampu menopangku ketika aku salah pijakan. Kak Lidia (Mahasiswi Departemen Biokimia 46) adalah orang yang aku bawa turun menyusuri pelawangan. Empat orang dari kami sampai duluan di tenda. Kami berunding sebentar untuk memutuskan lanjut atau tidak. Fisik kami yang mulai lapar dan lemas serta baju yang telah basah karena rintik hujan memaksa kami untuk turun duluan. Jika menunggu lebih lama di tenda yang juga basah saat itu, kami tak mungkin mampu bertahan lama. Kami turun duluan dengan rencana menyiapkan makanan dan minuman setelah sampai di pos V. Dua jam lamanya, cukup cepat dalam hitungan kami, tibalah di pos V. Kami tak menemukan apapun untuk dimasak, korek apipun tak ada. Rencana kami tak berjalan lancar...
Satu-satunya yang bisa kami lakukan hanya mengisi botol-botol kosong sebagai cadangan air minum temen-temen kami. Selanjutnya aku mengganti pakaian basah dengan sisa terakhir dari bajuku yang tidak tersentuh air, cuma agak lembab aja. Terlalu dingin jika ku biarkan tubuh ini dibaluti baju basah itu terlalu lama. Selang beberapa saat, tibalah temen-temen lainnya dengan kondisi yang tak kalah basahnya denganku. Kami beristirahat, makan, dan bersih-bersih secukupnya menjelang perjalanan turun. Kami terus berjalan turun dari pos V hingga sore kami tak kunjung datang di pos I. Padahal tujuan utama kami maksimal di pos I sebelum malam tiba. Kami kemalaman dan beberapa orang terlihat sudah mulai kehabisan energi, diantaranya ada juga yang mengalami keseleo dan lecet pada kakinya. Kondisi semakin parah menjelang pos I, sekelompok pendaki lain salah seorang anggotanya kesurupan, hypothermia, atau apalah aku tak tahu ditambah dengan Awa’ yang penyakitnya kambuh menjelang pos I ini. Berasa tulang punggungnya terangkat ke atas. Aku berusaha mengobatinya dengan olesan minyak fresh care yang diberikan Kak Lidia. Bang Fatur juga tak enak badan, Bang Riki, Bang Fuad, dan aku berusaha mengangkat Awa’. Setelah itu, aku angkat carrier yang dilempar karena tak sanggup dibawa lagi oleh temen-temen yang tak enak badan. Kami terpaksa menginap di pos I tanpa bekal yang tersisa selama perjalanan turun. Kami putuskan untuk melanjutkan perjalanan esok paginya, kami segera mendirikan tenda dan mengais sisa makanan yang mungkin masih ada. Kami beristirahat malam itu, menunggu tibanya sang surya esok hari.

Jum'at, 25 Januari 2013
Mentari bersinar begitu cerahnya, kami terbangun segera menikmati hangatnya cahaya raja siang ini. Kami berkemas merapikan tenda dan barang-barang yang masih berserakan. Sampah kami kumpulkan dan ada sebagian kami bawa turun.
Go home, guys...kami begitu menikmati perjalanan menjelang base camp. Tak sabar rasanya tiba disana untuk menikmati makanan seperti yang pertama kali kami makan disana. Perut sudah keroncongan dan badan sudah lemas. Air untuk melumasi tenggorokan tak ada yang tersisa. Namun, menjelang lahan perkebunan masyarakat suara riak air menggoda perjalanan kami. Beberapa dari kami mengambil air dari sungai sementara yang lainnya istirahat. Akhirnya tibalah kami di Base Camp pendakian. Senang rasanya telah berada disini lagi dengan selamat.
Terima kasih atas segala kisah ini ya Allah, kami tiba kembali dalam keadaan selamat setelah mendaki Slamet ini...

Beberapa dokumentasi selama perjalanan menuju puncak tertinggi Jawa Tengah

















Tidak ada komentar:

Posting Komentar