Perjalanan Hidup Terune[1]
Lombok Untukmu Pondok
Tidak seorang pun mengetahui
apa yang akan terjadi hari esok pada hidupnya. Selasa, 7 Juli 1992, tepat pada
hari ini seorang hamba yang penuh dengan kelemahan dilahirkan, aku.
Aku
dilahirkan di sebuah desa yang terletak
di Kecamatan Sikur, Kabupaten Lombok Timur, Lombok, Nusa Tenggara Barat.
Tepatnya desa itu bernama Tetebatu. Sebuah desa yang menjadi salah satu
destinasi wisata di bagian timur pulau Lombok. Desaku menyuguhkan beberapa
tempat wisata karena letaknya yang begitu dekat dengan Gunung Rinjani seperti
air terjun dan kolam pemandian yang airnya langsung berasal dari pegunungan. Ya
sudahlah kawan, sebenarnya bukan hal itu yang ingin aku ulas dalam tulisan ini.
Setamat Sekolah Dasar
aku melanjutkan sekolah ke pondok pesantren yang terletak sekitar 20 kilometer
dari desaku. Sebenarnya bukan aku yang memilih untuk melanjutkan pendidikan di
tempat ini. Kakakku, dialah yang menjerumuskanku. Kakak tertua yang ada dalam
keluarga. Pada awalnya, aku berencana tuk melanjutkan di sekolah yang terletak
tak begitu jauh dari rumahku, SMP 3 Sikur. Sekolah yang menjadi idaman setiap
lulusan SD di desa itu. Sepulang dari sekolah setelah pengambilan ijazah
menjadi awal keberangkatanku ke Kota Santri (sebutan akrab pondok pesantren
karena letaknya yang dekat dengan ibu kota kabupaten Lombok Timur). Memang tak
ada yang menandingi rasa nyaman ketika di rumah. Di tempat baru ini terasa
begitu asing, tak bersahabat, gelisah, galau dan cemas. Aku memang sudah
beberapa kali menginjakkan kaki disini, sekedar bermain dan mengunjungi
kakak-kakakku yang juga melanjutkan sekolahnya. Tapi tetap saja kawan, aku tak
mudah menerima ini semua.
Selama
menjalani masa-masa ta’lim, aku
tinggal di sebuah gubuk kecil berdinding anyaman bambu dengan atap yang selalu
bocor ketika musim hujan tiba. Rumah yang letaknya di madrasah khusus wanita
ini tak seharusnya diperuntukkan bagi santri laki-laki. Eits, dalam artian tak
tinggal bersama dengan santri putri, santri putri tinggal di tempat yang
berbeda. Namun mau bagaimana lagi, keterbatasan biaya membuat kakakku
memutuskan untuk menjebloskanku di tempat ini dengan adik iparnya yang lebih
dulu menempatinya. Mengapa aku sampai tinggal di madrasah yang isinya khusus
wanita ini kawan, memang tak ada tempat lain?. Madrasah khusus wanita ini
bernama Madrasah Tsanawiyah Mu’allimat. Kakakku lama mengabdi di tempat ini
sebagai seorang ustadz, sehingga dia diberikan izin oleh pengurus pondok untuk
menggunakan rumah yang sebenarnya untuk penjaga madrasah ini dijadikan tempat
tinggal untukku. Whatever kawan, yang
penting ada tempat tinggal selama masa pembelajaran.
Tholabul
‘ilmi fariidlatun ‘alaa kulli muslimin wa muslimatin, sebuah
hadits yang paling awal ku pelajari pada pelajaran mahfudzoth di madrasah tercinta. Sepertinya aku mulai menyukai dan
mencintai madrasah ini kawan. Aku kira hadits ini cukup menggambarkan bagaimana
tuntutan kepada seorang muslim untuk terus menuntut ilmu. Alhamdulillah, aku
dapat menikmati pendidikan kembali kawan.
O
ya kawan, aku hampir lupa memberitahukan apa nama madrasahku. Namanya Madrasah
Tsanawiyah Mu’allimin yaitu madrasah tertua yang didirikan di pondok pesantren
ini sekitar tahun 1937. Madrasah ini menjadi awal pergerakan para santri tidak
hanya berjuang melawan kebodohan tetapi ikut berjuang melawan kekejaman para
penjajah Belanda saat masih menduduki Pulau Lombok. Pondok pesantrenku bernama
Yayasan Pondok Pesantren Darunnahdlatain Nahdlatul Wathan. Pondok pesantrenku
ini tidak hanya bergerak dalam bidang pendidikan, akan tetapi dalam bidang
sosial dan dakwah juga. Sehingga Nahdlatul Wathan tidak hanya dikenal sebagai zona
pondok pesantren, ia juga dikenal sebagai organisasi masyarakat terbesar di
pulau Lombok. Ini salah satu alasan aku mulai menyukai dan mencintai madrasah
ini. Penuh cerita dan sejarah perjuangan yang begitu luar biasa. Bahkan setiap
ustadz atau ustadzah memasuki ruang kelas, mereka selalu bercerita dengan penuh
semangat mengenai perjuangan para santri yang menjadi syuhada’ melawan penjajah
tempo dulu. Tidak hanya itu alasan tuk bertahan di madrasah ini kawan. Setelah
melakukan registrasi santri baru, keesokan harinya aku harus menjalani tes
masuk madrasah. Saat ini adalah awal sosialisasi, ku jumpai seorang teman yang
sampai saat ini masih menjadi sahabatku. Dia begitu baik dan ramah, bahkan
kalau pergi ke rumahnya aku tidak diizinkan pulang sebelum ada sesuatu yang
harus dibawa sebagai oleh-oleh. Orang tua temanku ini adalah seorang petani,
mereka tidak hanya menanam padi, sayur-sayuran juga turut turut menjadi
permadani hijau di sawah mereka sehingga setiap kembali ke pondok pasti aku
membawa sekantong besar sayur mayur. Ini gratis without pay anything.
Di
madrasah, aku termasuk orang yang pendiam menurut sebagian teman-temanku.
Jarang berbicara kecuali pada saat belajar di kelas menjadi ciri khasku.
Sehingga pada beberapa hari ketika aku tak bisa masuk mengikuti pelajaran
karena sakit, kelas terasa sunyi dan beberapa orang ustadz/ustadzah mencariku
berdasarkan penuturan salah seorang temanku. Tahu tidak kawan, semenjak kelas
pertama sampai terakhir madrasah tsanawiyah, aku selalu ditunjuk oleh
teman-teman sebagai ketua kelas dan aku tak dapat menghindari hal ini, selalu
dan selalu. Proses edukasi terus berjalan dengan segenap aktivitas di dalamnya. Doa, mukhodoroh[2],
dan menyanyikan salah satu lagu perjuangan Nahdlatul Wathan menjadi rutinitas
seharian sebelum memasuki ruang kelas.
Alhamdulillah,
pada tahun pertama aku bisa memperoleh juara pertama setiap semesternya serta
berhasil pula memperoleh juara umum dua saat itu. Itu merupakan kebanggaan
tersendiri bagi seorang perantau sepertiku. Aku tak menyangka dapat menyabet
prestasi ini. Tahun pertama pun berlalu,
time to time gone. Masuk di tahun
kedua, semester pertama dengan jabatan yang sama, ketua kelas. Dengan jabatan
yang selalu seperti ini membuatku selalu menjadi pilihan terakhir saat teman-teman
yang memiliki giliran mengisi acara pagi hari untuk memimpin doa, mukhodoroh, dan menyanyikan salah satu
lagu perjuangan tidak dapat memenuhi giliran mereka. Ini luar biasa kawan,
pengaruhnya masih aku rasakan sampai saat ini yaitu berani tampil di depan umum
dalam keadaan tidak siap. Terkadang aku dan semua teman sekelas sesekali
mendapat hukuman karena tak ada seorang pun yang mengisi kegiatan rutin ini.
Aku juga bukan orang yang selalu memiliki materi yang disampaikan dalam
ketidaksiapan. Finally, beberapa goresan merah tergambar dibagian betis kami.
Ada yang berbeda dalam peraihan prestasi akademik semester pertama di tahun
kedua ini. Aku berada pada peringkat keempat. Tidak selama orang berada di atas
kawan. Peringkat pertama diraih oleh anak pengurus pondok, selanjutnya oleh
teman lainnya. Memang pada saat kelas pertama aku tak sekelas dengannya. Dan
aku yakin, ada pilih kasih yang diberikan padanya karena dia anak seorang
pengurus pondok. Saat dia membuat kesalahan pun, ustadz dan ustadzah tak berani
bertindak. Semester kedua tiba, peringkat pertama dapat ku raih kembali. Tahun
ketiga tiba, akhirnya sudah berada di kelas terakhir jenjang tsanawiyah kawan.
Pembelajaran demi pembelajaran terus berjalan hingga akhirnya ujian tiba dan
aku lulus dengan nilai yang cukup memuaskan.
The plane can’t turn back, hidup
terus bergerak ke depan tanpa bisa kita kembali ke masa sebelumnya. Mari merajut
masa depan kawan.
Tepatnya Juli 2008,
awal cerita perjuangan edukasi jenjang madrasah aliyah. MA Mu’allimin, nama
madrasah yang sama dengan jenjang madrasah tsanawiyah karena memang madrasah
ini pada awalnya merupakan satu madrasah yang menyelenggarakan pendidikan
selama 6 tahun bagi santrinya. Sebagian besar dari teman-temanku melanjutkan ke
madrasah ini. Kami berkumpul kembali dengan alasan yang hampir sama,
kebarokahan ilmu yang berkelanjutan di pondok pesantren ini. Sejak awal, kami
selalu ditanamkan tiga prinsip dasar kehidupan oleh para ustadz yaitu yakin,
ikhlas, dan istiqomah. Dan prinsip ini yang terus dipegang oleh para santri
lulusan atau abituren pondok
pesantren. Aku yakin prinsip ini juga
yang membawa kami menuju madrasah aliyah.
Madrasah aliyah berada
sekitar 350 meter dari madrasah tsanawiyah. Madrasah yang luasnya setara dengan
lapangan sepak bola. Madrasah yang cukup luas sehingga tak jarang aku menemukan
anak-anak yang tinggal di sekitar madrasah bermain bola di lapangan madrasah.
Tahun pertama, dengan kelas berada di pojok bangunan madrasah, aktivitas
belajar mengajar berlangsung. Kelas yang dianggap sebagai kelas favorit saat
itu. Ketua kelas, jabatan yang akrab sekali denganku mendatangi diriku lagi.
Namun aku tak pernah menolak untuk menduduki jabatan ini. Jabatan ini yang
membuatku lebih akrab mulai dari lingkungan kelas sampai lingkungan kantor para
ustadz. Keharusan para ketua kelas mengambil kapur tulis ke kantor membuatku sedikit
dikenal oleh para ustadz di madrasah ini dibandingkan teman-teman yang tak
menduduki jabatan ini. Kawan, alhamdulillah pada semester pertama di tahun
pertama aku bisa menyabet juara pertama di kelas. Ada pengalaman yang paling
berkesan di tingkat ini kawan, aku pernah dikirim untuk mengikuti English Debate Contest menanggapi issu
lingkungan. Aku dikirim sebagai utusan madrasah bersama dengan 5 orang teman
yang merupakan kakak kelasku. Aku bukanlah orang yang terlalu mahir dalam
bahasa asing ini kawan, tapi aku tak tahu alasan ustadz bahasa inggris
menunjukku untuk lomba ini. Ini pertama dan terakhir kali aku mengikuti lomba
debat. Pada saat lomba aku hanya yakin mampu memberikan hal terbaik bagi
madrasah walaupun dengan kemampuan seadanya. Walaupun tidak melekat predikat
pemenang pada kami saat itu, setidaknya ada pengalaman dan kesempatan yang
berharga tergores dalam catatan hidup kami yang mengikuti lomba tersebut. Sebagai
obat kekesalan karena tak memenangkan lomba, kami langsung bergegas menuju
pantai Senggigi. Salah satu pantai paling tersohor di Lombok yang kerap
dikunjungi para wisatawan domestik dan mancanegara. Tentu saja, kami pun tak
melewatkan kesempatan berbincang dengan para wisatawan asing di tempat ini
sebagai obat kekecewaan. Begitu impresif kawan...
Pada
semester berikutnya, peningkatan prestasi yang cukup menakjubkan kawan, syukur
yang sebesar-besarnya pada Sang Kholik atas nikmat ini. Akhirnya, aku bisa
memegang predikat juara umum pertama di madrasah ini.
Sophomore
in this beloved school...
Apa
ceritaku di kelas dua ini kawan?. Aku dicalonkan untuk memimpin organisasi
intra di madrasah atau yang biasa disebut OSIS. Kali pertama menduduki jabatan
setinggi ini menurutku, kawan. Tak sedikitpun terbayang di benakku menduduki
jabatan ini, sudah cukup ketua kelas saja yang akrab bagi diri ini pikirku. Hari
demi hari ku jalani, berangkat lebih awal dari santri lainnya bahkan harus
menjadi santri yang pertama kali menginjakkan kaki di tanah madrasah guna
mempersiapkan kegiatan rutin setiap paginya sebelum memasuki ruang kelas. Pada
waktu yang bersamaan di tengah-tengah kepengurusan OSIS, aku ditunjuk sebagai
wakil dalam forum OSIS se-Lombok Timur (Fosil). Di samping itu, aku
dipercayakan juga sebagai sekretaris dalam kepengurusan Pusat Informasi dan Konseling
Kesehatan Reproduksi Remaja (PIK-KRR) di ligkungan yayasan. Alhamdulillah, aku
mulai menyadari tidak hanya di bangku kelas ilmu dapat ku tuai, namun ilmu yang
terkait pengalaman dan soft skill aku
peroleh dari perjalanan organisasi. Dalam akademik, step by step wawasan dan pengetahuan ini makin terasah. Aku banyak
mengikuti lomba-lomba yang diadakan oleh berbagai instansi pendidikan seperti
olimpiade, pidato dan lainnya. Terasa manfaat yang besar ketika mengikuti
organisasi dan berbagai lomba. Dalam organisasi aku ditempa untuk berpikir dan
berempati terhadap orang lain serta membangun suatu social network antar sesama rekan dalam organisasi tersebut. Dalam
setiap perlombaan aku ditempa untuk selalu siap menghadapi ujian, memacu
kapabilitas diri dan belajar menerima kekalahan dengan cara yang bijak.
Seperti yang telah aku
katakan sebelumnya kawan, hidup tak selalu berada dalam kejayaan akan tetapi
kita harus siap menerima kegagalan. Saat kelas dua ini, aku tak lagi memiliki
tempat tinggal karena rumah tempat tinggalku selama ini yang berada di madrasah
khusus putri tak lagi memberiku ruang. Penjaga madrasah yang baru saja pindah
ke tempatku membuat segalanya berubah. Aku harus tinggal di ruang OSIS yang
terus memanggang tubuh setiap siang harinya dikarenakan atapnya yang terbuat
dari seng, tempat yang begitu bising ketika hujan tiba, dan tempat menyajikan
aroma pesing kotoran tikus yang beranak pinak di tempat ini. Aku mulai berpikir
lebih bijak pada saat itu, aku bisa hidup dengan keadaan seperti ini. Sometimes, aku mengundang teman-teman
OSIS yang lainnya untuk mau menginap di tempat ini. Namun mereka lebih memilih
untuk membawaku ke tempat tinggal mereka agar aku menginap disana dengan
pertimbangan daripada mendekam di tempat seperti itu. Sesekali juga mereka
menyempatkan diri berkumpul bersama di ruang OSIS ini ketika ada acara yang
kami laksanakan.
Kepengurusan
OSIS periode ini berakhir menjelang kenaikan kelas. Dalam semester ini, juara
pertama mampu ku peroleh kembali. Organisasi tak menghalangi segudang prestasi
pada diri ini.
Tingkat terakhir pada
masa-masa putih abu-abu. At the third
grade, tingkat yang mengharuskan setiap santri mulai berpikir akan kemana
mereka pergi setelah lulus nanti. Ada beragam pilihan yang mulai muncul,
melanjutkan ke perguruan tinggi atau mulai mencari kerja atau merantau ke
negeri jiran Malaysia atau bahkan pilihan untuk menikah. Pilihan-pilihan inilah
yang mungkin setiap santri miliki di tingkat ini. Di sisi lain, ini merupakan
tingkat yang paling mendebarkan, tingkat yang menentukan kami bisa lulus atau
tidak dengan menjalani ujian yang hanya berkisar empat hari. Memang saat-saat
ini, sebagian besar teman-temanku memutuskan untuk melanjutkan ke jenjang
pendidikan tinggi dan tentu ujian tahun ini menjadi pertimbangan besar mereka.
Begitu
pula aku kawan, aku ingin sekali melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih
tinggi. Pada awalnya aku berpikir untuk tetap mengenyam pendidikan di pondok
pesantren. Aku ingin memasuki sekolah tinggi keguruan ilmu pendidikan yang ada
di pondok. Namun, ketahuilah kawan bahwa impian terbesarku saat itu adalah aku
ingin memperoleh beasiswa di dalam ataupun di luar negeri. Seperti halnya
pendahuluku yang saat itu mengenyam pendidikan di Institut Pertanian Bogor. Dia
yang selalu memberikanku informasi mengenai beasiswa terutama beasiswa yang
selalu menjadi langganan madrasah kami, beasiswa Kementerian Agama RI. Impian
besar ini yang memacuku untuk terus belajar, belajar,dan belajar. Mungkin pada
masa-masa seperti ini tak lagi terbersit dalam pikiranku untuk menjadi juara pertama di kelas. Aku
lebih memikirkan pada kelulusan dan memperoleh beasiswa sehingga biaya
pendidikan tak lagi membebani keluargaku. Hari demi hari, bulan demi bulan
terlewati hingga tiba saatnya ketika informasi beasiswa datang dari madrasah.
Lima orang santri yang menyandang predikat nilai terbaik di kelas diperintahkan
untuk mengisi formulir beasiswa dari Kementerian Agama ini. Dan aku termasuk
salah seorang di dalamnya kawan. Alhamdulillah, pada semester-semester sebelumnya
aku mampu mempertahankan prestasi dalam peringkat pertama di kelas sehingga aku
terpilih untuk mengisi formulir tersebut. Akhirnya tes beasiswa pun tiba dan
sekitar 20 orang santri dari pondokku berangkat menuju tempat tes yang berjarak
sekitar 50 kilometer. Kedatangan bus kami terlambat. Para santri yang berasal
dari pondok lainnya sudah mulai mengisi lembar jawaban tes mereka. Dengan penuh
rasa khawatir, cemas dan sedikit tergesa aku mulai mengerjakan soal tes yang
disuguhakan pada oleh pengawasa tes hari itu. Beberapa bulan setelah itu,
seiring dengan berakhirnya ujian nasional, pengumuman hasil tes beasiswa pun
dikeluarkan. Pada awalnya aku sudah hopeless
karena informasi sebelumnya mengenai tidak adanya santri yang lulus dari
pondok pesantrenku karena keterlambatan pengumuman khusus untuk beberapa
universitas, salah satunya IPB. Pada pengisian formulir pendaftaran, aku
memilih IPB sebagai pilihan universitas dan dua pilihan jurusan opsional di
universitas ini. Walau sedikit terlambat dari universitas lainnya, akhirnya
pengumuman untuk IPB keluar juga. Kakak kelasku menelponku saat itu untuk
mengabarkan bahwa aku telah lulus di IPB dengan jurusan yang sama dengannya dan
merupakan pilihan keduaku. Aku langsung memeriksa situs yang pada awalnya
membuatku hopeless tersebut. Ternyata
benar saja kawan, aku lulus program beasiswa Kementerian Agama. Dengan nama
yang berada pada urutan terakhir di daftar itu, aku begitu bahagia kawan.
Seminggu setelahnya, aku harus berangkat ke Bogor sehingga aku harus segera
melengkapi berkas-berkas yang dibutuhkan. Hari keberangkatan pun tiba,
segalanya telah dipersiapkan dan sepertinya aku sudah siap untuk menginjakkan
kaki di IPB.
Tepatnya
Juni 2011, akhirnya aku telah berada di kota hujan, Bogor. Hari demi hari
berlalu, masa edukasi berjalan dengan berjuta cerita di dalamnya. Mulai dari
masa matrikulasi sampai dengan masa kuliah terus mencipta kisah yang begitu
mengesankan. Masa perjuangan menimba ilmu yang berharga ini tak kan aku
sia-siakan kawan. Aku akan berusaha mengasah dan menuntut ilmu, skill, pengalaman hidup di bangku kuliah
ini sehingga pada akhirnya nanti tidak hanya ilmu yang akan terbawa pulang ke
pondok pesantren, namun keterampilan, wawasan, nilai-nilai dan apapun yang
telah aku peroleh pada masa ini. Bersama keluarga besar CSS MoRA IPB aku
menapaki semua pengalaman edukasi yang ada saat ini.
Akan
tiba saatnya, aku memberikan sumbangsih pada pondokku tercinta. Aku kerahkan
seluruh potensi yang aku miliki. Pengembangan pesantren dalam bidang teknologi
dan kewirausahaan menjadi impian besarku. Peningkatan prestasi akademik dalam dirosah diniyah dan ‘ammiyah pondok pesantren menjadi impian
besar selanjutnya.
Nantikan
kepulanganku, wahai pondokku.
Aku
tak kan melupakanmu selama menimba ilmu di negeri rantauan ini.
Aku
terus mengharapkan cucuran do’a para ulama dan kiai, sang murabbi dari pondok
yang dengan ikhlas mengajarkan ilmunya padaku.
Aku
pun terus mendoakanmu, wahai pondokku.
Sampai
jumpa pondokku...